Dayang Ayu - Dideng Dang Ayu

Legenda Daerah Sumatra Barat

Lutung Kasarung dan Purbasari

Legenda Daerah Jawa Barat

Sangkuriang

Legenda Daerah Jawa Barat

Bawang Merah dan Bawang Putih

Legenda Rakyat Jawa Barat

Tarian Klasik Keraton Jawa

Legenda Daerah Jawa Tengah

Minggu, 16 Oktober 2016

Menjaga Tradisi ketika Zaman Berganti

Keselamatan dalam kerja menjadi faktor utama bagi warga Dayak Tolak Sekayu saat berladang. Berbagai ritual pun digelar menyertai tahapan perladangan, dari menentukan dan membuka lahan hingga menikmati hasil panen. Ritual untuk memohon perlindungan dari Yang Mahakuasa itu dipimpin demung alias kepala adat.

Komunitas adat Dayak Tolak Sekayu bermukim di Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Ritual dalam tradisi perladangan mereka dimulai saat nyelepat benih. Upacara adat tersebut menandai dimulainya aktivitas pembukaan lahan dengan cara menebang, menebas, dan membakar ladang.

"Ritual digelar untuk menghindari bahaya, misalnya terluka akibat tertebas parang saat membuka lahan," kata Demung Perikan, Kepala Adat Desa Laman Satong kepada Media Indonesia, akhir Agustus lalu.

Ritual adat pun kembali digelar saat mulai menugal atau menanam padi. Begitu pula saat membakar lahan hingga padi mulai tumbuh dan berkembang. Ritual dalam menugal padi diakhiri dengan makan bersama oleh para perangkat adat di ladang yang telah diritualkan.

"Makanannya pakai (berwadahkan) daun kayu, tidak boleh menggunakannya yang lain," imbuh Wakil Demung Simon Asong.
Ngebau padi menjadi rangkaian ritual yang memungkasi tradisi perladangan di Desa Laman Satong. Puncak upacara adat tersebut digelar untuk mensyukuri hasil panen tahunan. Ngebau padi sekaligus menjadi pesta penutup tahun berdasarkan tradisi komunitas adat Dayak Tolak Sekayu.

Cetak sawah

Petani di Desa Laman Satong bertani di lahan kering atau ladang yang mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan. Penanaman dan panen dilakukan setahun sekali. Musim tanam berlangsung setiap akhir Agustus hingga awal September atau di pengujung kemarau. Sementara itu, pemanenan pada Maret hingga April atau di akhir musim kemarau.

Selain perladangan, sistem persawahan mulai diperkenalkan kepada warga setempat. Ada sekitar 100 hektare lahan di beberapa lokasi yang disiapkan pemerintah untuk pencetakan sawah baru di Laman Satong. Namun, program tersebut mandek lantaran lahan itu masih berstatus kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
"Baru sekitar 8 hektare yang dikerjakan, dan sepertinya tidak berlanjut karena masalah status kawasan," jelas Sekretaris Desa Laman Satong Idi saat dikonfirmasi, akhir Agustus lalu.

Warga dan perangkat adat sebetulnya tidak mempermasalahkan keberadaan sawah tersebut. Mereka sedikit pun tidak mengkhawatirkan sistem pertanian itu bakal menggerus tradisi perladangan dan berbagai ritual yang menyertainya. Upacara adat tetap bisa dilangsungkan dan berlaku untuk penanaman padi di sawah.

"Kata-katanya (mantra) hanya diubah sedikit, disesuaikan dengan kondisi. Ritualnya juga cukup digelar setahun sekali walaupun penanaman padi di sawah bisa lebih dari dua kali setahun," jelas Perikan.

Upaya mempertahankan tradisi perladangan juga dilakukan beberapa komunitas adat Dayak di Kalimantan Barat. Misalnya, warga Dayak Limbai di Kabupaten Melawi. Komunitas adat yang menetap di Dusun Sungkup, Kecamatan Menukung, ini tetap menjalankan mopat daun padi di lahan persawahan selain di ladang.

Mopat daun padi ialah ritual tahunan untuk menyuburkan padi. Ritual dilakukan terhadap padi yang berusia 2-3 bulan agar terhindar dari serangan hama dan penyakit. Upacara adat yang digelar para peladang tersebut juga diikuti warga yang bertanam padi di sawah.

"Mopat daun padi juga dilaksanakan untuk penanaman padi di sawah agar tumbuh subur serta terhindar dari serangan hama dan penyakit," tegas Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Belaban Ella, Bahen, beberapa waktu lalu.

Pemimpin adat

Pemimpin adat memiliki peran sentral dalam komunitas adat dayak. Mereka dianggap tokoh terpandang. Ucapan dan tindakan mereka menjadi anutan masyarakat. Selain memimpin dan mengatur upacara atau ritual adat, pemimpin adat menjadi penengah atau tokoh penentu dalam penyelesaian konflik di masyarakat.

Pemimpin atau ketua adat di komunitas Dayak di Kalimantan Barat lazim disebut kepala adat, temenggung, timanggong atau demung. Mereka membawahkan satu ketemenggungan (wilayah adat) yang meliputi beberapa perkampungan.

Ketua adat ada yang dipilih langsung oleh warga, ada pula berdasarkan trah atau garis keturunan. Seperti di komunitas adat Dayak Tolak Sekayu di Desa Laman Satong. Demung dipilih dari anak laki-laki pejabat sebelumnya, tetapi tidak mesti putra pertama. Putra ke berapa pun berhak menjadi demung sepanjang memenuhi kriteria dan disetujui warga.

"Calon demung harus memahami (pengetahuan) adat, bertingkah laku baik, dan bisa membaur di masyarakat," jelas Demung Perikan.
Jika demung tidak memiliki anak laki-laki, penggantinya ditentukan melalui musyawarah adat. Namun, kandidat dari trah atau garis keturunan demung tetap diutamakan tanpa mengabaikan kapasitas dan rekam jejak sang calon pengganti. (M-2)


Penulis: Aries Munandar
www.mediaindonesia.com

Minggu, 09 Oktober 2016

Kiramaik Jalan Spritual Petani Sonsang

Sonsang ialah kampung di lembah sempit bersawah luas. Di pematangnya yang kecil, Muhammad Rusdi Dt Mareko berdiri dengan gagah. Tangannya mengepak menunjukkan gerakan mengusir hama, sedangkan mulutnya terus merapal doa.

Terik matahari di penghujung Agustus itu tidak melelahkan semangat Inyiak Eko, begitu dia disapa, untuk meneruskan niat dan asa petani agar padi dijauhi hama, dan kelak mendapatkan hasil melimpah.

Saban dua bulan pascatanam padi di tiap tahunnya, petani di Jorong Sonsang menghantarkan doa, makan bersama, dengan tujuan hama berlalu, padi tumbuh berisi, dan panen yang melimpah.
Orang-orang Sonsang menamainya kiramaik, ritual meminta kepada Sang Pencipta agar padi tumbuh kembang tanpa ada gangguan.

Sonsang ialah jorong yang masuk teritorial Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, sekitar 20 kilometer dari Kota Bukittinggi.

Wali Jorong Sonsang Yul Maison menyebutkan luas total sawah di Sonsang lebih kurang 86 hektare. Sawah yang luas menjadi sumbu ekonomi warga Sonsang. Sebab itu, padi yang tumbuh di atasnya adalah segalanya bagi masyarakat Sonsang. "Sebanyak 85% dari 800 jiwa masyarakat Sonsang adalah petani," ujar Yul.

Sebagian besar petani di Sonsang menanam padi varietas kuriak kusuik. Namun, saat ini juga ada yang mulai menanam varietas putih. Bila hama ramah, dikatakan Yul, panen padi sekitar 100 belek (seperti kotak suara KPU) per hektare. Selain untuk konsumsi, padi dijual.

"Biaya sehari-hari dan sekolah anak, sebagian bersumber dari hasil penjualan padi," jelas Yul yang juga seorang petani.
Yul mengatakan, dari total luas sawah sekitar 86 hektare, hanya seperempat yang teraliri irigasi. Selebihnya berharap belas kasih pasokan air dari langit. "Sebagian sawah di sini sawah banda langik (tadah hujan)," tukas Yul.

Seret air hanya sebagian kecil nelangsa petani Sonsang. Hama juga momok karena bisa memupus asa akan hasil panen yang melimpah. Itu menjadi alasan masyarakat Sonsang menggelar kiramaik. Sejarahnya pun berakar dari malapetaka seabad yang lalu. "Kiramaik itu pusaka nenek moyang. Sudah mentradisi," ujar Yul.

Sejarah kiramaik tidak bisa dilepaskan dari Tarekat Naqsyabandiyyah. Seperti yang diutarakan Inyiak Mareko, upacara kiramaik lahir dari permintaan masyarakat Sonsang kepada seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah.

Kiramaik merupakan bahasa Minang dari kata 'keramat'. Secara definisi keramat ialah suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa).

Begitu juga dengan kiramaik di Sonsang. Menurut Inyiak Eko, kiramaik ada dalam Alquran, yakni karomah. Kiramaik itu doa, bukan sihir. Ia dimiliki wali-wali Allah, bukan nabi atau rasul yang sungguh-sungguh mengerjakan syariat-Nya dengan mujahadah yang kuat sehingga sampai pada derajat wali.

"Inna akramakum `indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang paling bertakwa di antara kalian)," jelas Inyiak Eko. Guru Tarekat Naqsyabandiyyah selalu menjadi pemegang kendali ritual sejak lahir pada 1910. Inyiak mareko ialah ahli waris pemimpin spiritual kiramaik. Dia juga mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah di Sonsang.

Berseminya komunalisme

Kiramaik dipimpin guru tarekat, tapi bukan berarti ritualnya orang-orang tasawuf. Kiramaik merupakan saluran doa-doa bagi semua orang Sonsang menyongsong hasil padi yang lebih baik.
Inyiak Eko mengatakan, dalam kiramaik, dia hanya sebagai pemimpin doa, sedangkan segala hantaran pelengkap doa tanggung jawab petani masing-masing yang memiliki sawah di Sonsang. "Kiramaik itu doa," tukasnya.

Tiap petani, sebutnya, menyediakan tujuh ragam 'obat-obatan' seperti daun kumpai, cikarau, sitawa sidingin, daun jeruk.
Sebelum menuju padang berdoa di Gurun Tangah, terlebih dahulu persyaratan tersebut telah disiapkan di rumah. Caranya, tujuh jenis ramuan tersebut dihaluskan, dicampur, lalu disiram air di dalam ember.

Kiramaik biasanya dilaksanakan pagi, saat acara berlangsung sekitar 2 jam. Dari rumah, petani mengarak ember yang telah berisi ramuan menuju ke Gurun Tangah, tempat dilangsungkannya kiramaik. Bersamaan itu pula, masyarakat juga membawa nasi lengkap dengan lauk-pauknya.

Sesampai di sawah, ember diletakkan di tengah gurun. Sekejap kemudian, mulut Inyiak Eko komat-kamit membaca doa kulimah tarekat. Bunyi doa sederhana, seperti 'Ya Allah selamatkan kami di dunia akhirat, pelihara daripada azab neraka'.

Kehadiran anak-anak dalam kiramaik sangat krusial. Doa anak-anak adalah amunisi harapan yang dihiasi ketulusan. "Jangan salah, doa anak-anak itu didengar Yang di Atas," ujar Inyiak Eko.
Menakar perubahan yang terjadi setelah kiramaik memang tidak mungkin karena itu bukan bicara statistik. Namun, dari pengakuan Inyiak Eko, ada beberapa petani melaporkan, setelah digelarnya kiramaik, padi yang diserang tikus tidak ada lagi.

Ritual tahunan kiramaik masih berjalan secara tradisional, tapi tentu tidak tertutup menjadi bagian kalender wisata Sonsang. Apalagi, kampung di lingkar Bukit Barisan itu baru saja menggelar Festival Sonsang.

Festival Sonsang yang bakal diadakan tiap tahun tentu potensi bagi kiramaik tampil di khalayak lebih ramai. Dengan begitu, nilai-nilai spiritual dalam pertanian yang terkandung dalam kiramaik lebih tersiar. (M-2)

Penulis: Yose Hendra
www.mediaindonesia.com

Minggu, 25 September 2016

Dilarang Curi Motif

Petrohela Peni Hipir, 67, tampak tekun menyusun benang dan memasukkannya sesuai dengan keinginannya untuk membentuk motif tertentu. Setelah ia menyusun benang, ia pun memegang kayu untuk menekan benang tersebut sehingga motif itu semakin tersusun dan membentuk kain berukuran panjang 1,5 meter dan 50 meter.

Petrohela menggunakan sejumlah motif, seperti tenar--perahu dan ikan belepa, lepo atau bengkuang, ikam mokum, petinan atau peti, dan temetak, yakni sambungan.

Untuk menciptakan motif-motif itu, Petrohela menggunakan tiga warna, yakni kuning, merah, dan hitam. Semua warna itu pun dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam warga.

Untuk mendapatkan warna merah, mereka menggunakan akar mengkudu yang dihancurkan dan dicampur ke air, sedangkan warna kuning dari kunyit dan warna hitam dari daun tarum.

Sebelum melakukan pewarnaan, khususnya kain adat, para perempuan Desa Nubahaeraka, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan prosesi. Kapas-kapas yang sudah dipintal menjadi benang diikat dengan tali rafia untuk membentuk motif tertentu. Untuk memulai prosesi pewarnaan, Petrohela menurunkan kendi-kendi tanah liat dari tempat penyimpanannya dan memulai doa serta memakan pinang.

Kendi-kendi itu digunakan untuk menampung pewarna alami yang akan digunakan. Benang-benang tersebut dimasukkan ke kendi yang dipanaskan dengan kayu bakar.

Setelah menyerap warna, benang akan dikeluarkan dari kendi untuk dikeringkan. Meski sudah kering dan warna menyerap, benang itu tidak bisa langsung digunakan.

"Ketika sudah kering kita simpan lagi. Tahun depan baru dibuka lagi dan dilakukan prosesi pewarnaan. Pewarnaan akan dilakukan selama tiga tahun baru boleh ditenun," ujar Elisabeth Nogo Keraf.

Tiga tahun, lanjut perempuan yang akrab disapa Mama Elis itu, dinilai cukup dan warna sudah menyerap dengan baik ke benang. Warna yang dihasilkan pun lebih baik. Tak pelak harga kain adat itu pun dibanderol Rp3 juta-Rp4 juta.

Gila

Namun, jangan sesekali Anda mencoba mencuri motif kain adat orang lain. Satu motif hanya bisa digunakan 5-6 orang di desa itu.

"Jadi dalam satu keluarga belum tentu motifnya sama karena satu motif hanya untuk 5-6 orang saja," jelas mama Elis.

"Misalkan saya menjemur tenun saya setelah mencuci, orang akan tahu itu sarung punya saya karena motif tersebut hanya ada di sana," tambahnya.

Bila seseorang ingin mengubah motif mereka, kata Mama Elis, mereka harus melakukan prosesi cuci tangan. Itu ialah prosesi ketika ia mengembalikan motif tersebut kepada pemilik motif yang asli dan meminta izin penggunaan motif yang baru ke pemilik yang lain.

Pelanggaran penggunaan motif sembarangan bisa sangat berbahaya. Bila si pemilik motif tidak mengizinkan motifnya digunakan orang lain, ia bisa menjatuhkan kutukan.

"Kalau mencuri motif bisa menjadi buta atau paling parah menjadi gila," ujar perempuan berusia 48 tahun itu.

Kebutaan bisa terjadi bila sang pemilik motif menusukan jarum yang digunakan untuk menenun ke batok kelapa tempat penyimpanan jarum. Batok kelapa itu biasanya terletak di samping peralatan tenun.

"Bila tusuk sekali, orang itu (pencuri motif) akan buta. Bila ditusuk lagi bisa gila," ungkapnya.

Agar orang itu bisa mendapatkan penglihatannya kembali, prosesi adat harus dilakukan. Di prosesi tersebut yang melakukan pencurian motif harus meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya. Bila prosesi adat sudah dilakukan, orang tersebut akan bisa melihat kembali.

"Dulu pernah kejadian seperti itu dan setelah prosesi adat baru bisa melihat lagi," ucapnya. (M-2)

Sumber : Media Indonesia

Minggu, 04 September 2016

Merajut Kasih di Puncak Atas Angin

Berikrar cinta di Puncak Atas Angin dipercaya bisa meneguhkan hubungan asmara pasangan kekasih. Legenda asmara itu memicu warga berbondong membuktikan tuah Bukit Cinta. Kondisi hutan di Pulau Jawa banyak yang mengalami kerusakan parah. Penyebabnya banyak faktor, antara lain pembalakan liar dan aktivitas pertambangan. Secara umum, kondisi hutan di kawasan tersebut rusak parah. 

Tak hanya itu, bukit yang berada dalam kawasan barisan Perbukitan Kendeng Selatan dalam kondisi gundul tanpa hutan dan pohon. Hanya beberapa kawasan yang berlahan subur. Terutama, lahan yang berada di sekitar mata air dan sungai yang masih mengalir. Tak mengherankan jika pada musim penghujan, hampir seluruh daerah di kawasan selatan rawan diterjang banjir bandang dan tanah longsor. 

Dengan demikian, untuk bisa bertahan hidup, masyarakat kawasan selatan mesti kreatif menyiasati dan merawat lingkungan. Tak terkecuali, gundulnya hutan dan bukit juga terjadi pada kawasan hutan dan bukit di Desa Klino, Kecamatan Sekar. Namun, karena terdorong rasa kepedulian yang tinggi, masyarakat sejumlah desa di kawasan setempat kemudian berkreasi dalam mengolah sumber daya alam yang tersedia. 

Mereka berusaha merawat mata air yang ada dan menyulap Bukit Atas Angin yang gersang hingga menjadi tempat objek wisata yang menarik. Ya, Bukit Atas Angin gersang itu kemudian juga dinamakan ‘Bukit Cinta.’ Di bukit itu, pasangan yang menjalin cinta kasih diyakini bakal langgeng selamanya. Terutama, bagi sepasangan kekasih yang mengucap ikrar di atas Bukit cinta. 

Sepasang muda-mudi mendatangi bukit itu. Selesai memarkir kendaraan, pasangan berlain jenis itu beranjak jalan. Mereka menuju arah tenggara, menyusuri jalan setapak. Tak ada semak sepanjang jalan itu. Beberapa pohon pun tumbuh berjauhan. Jalan setapak itu makin menanjak dan melewati celah bebatuan. 

Keduanya remaja itu pun merangkak. Setengah jam kemudian mereka sampai di puncak. Ya, Bukit Cinta di kawasan Atas Angin. Dua buah pohon tumbuh menghiasi puncak Bukit Atas Angin. Pada bagian, lain tampak tumpukan batuan yang ditata setinggi semeter. Sebuah gazebo juga sedang didirikan pada bukit berketinggian 650 meter di atas permukaan laut tersebut. 

Pemandangan di kawasan puncak Atas Angin juga semakin memesona manakala dinikmati menjelang petang hari. Temaram sinar mentari membuat suasana Atas Angin menjadi romantis. Dari Bukit Cinta pula, pengunjung bisa dengan leluasa menikmati pemandangan sekeliling. Tiap akhir pekan dan hari libur, tak kurang belasan pasangan kekasih mengunjungi kawasan Atas Angin. 

Tak hanya dari Bojonegoro, para pengunjung juga berasal dari berbagai kawasan sekitar kabupaten setempat. Antara lain, Kabupaten Ngawi, Madiun, Tuban, Lamongan, Blora, Probolinggo, Madura, Nganjuk, dan sejumlah kawasan di Jawa Tengah.

Asmara melegenda
Puncak Atas Angin tiap hari makin ramai dikunjungi warga dari berbagai daerah. Minimnya destinasi wisata di kawasan selatan Bojonegoro menjadi faktor pendukung kawasan perbukitan Desa Klino menjadi ramai. Sebagian besar kawasan selatan yang berbatasan Kabupaten Nganjuk dan Madiun tersebut gersang. Faktor lain ialah kawasan Atas Angin diyakini menjadi tempat sakral bagi masyarakat setempat. 

Sejumlah goa, pertapaan, dan petilasan mendorong Atas Angin semakin kerap dikunjungi warga sekitar. Sejak dibuka pada tiga tahun silam, kini Bukit Cinta makin dikenal. Bukan tanpa sebab bukit gersang di kawasan Kecamatan Sekar itu disebut Bukit Cinta. Juru Kunci Negeri Atas Angin, Ki Seger, memaparkan pemberian nama Bukit Cinta disebabkan adanya kisah asmara antara Raden Seomantri Atas Adji-bangsawan pelarian Kerajaan Mataram dengan Dewi Sekarsari putri Bupati Rajekwesi. 

Kedatangan Raden Seomantri Atas Adji dari Mataram di pusara Petapan Atas Angin bersama saudaranya R Sudjono Puro. Keduanya kemudian menetap di Atas Angin setelah beberapa lama melakukan pengembaraan. Mereka kemudian berguru pada Ki Brojo. Tak berselang lama, keduanya mendengar Bupati Rajekwesi menggelar sayembara untuk memilih prajurit pilih tanding. 

Seomantri Atas Adji kemudian mengikuti sayembara tersebut. Karena kesaktiannya, Soemantri berhasil mengalahkan para peserta lainnya. Bupati Rajekwesi yang kagum dengan kedigdayaan Soemantri kemudian mengangkatnya menjadi panglima Kadipaten. Tak hanya itu, Adipati Rajekwesi juga mengizinkan putrinya Dewi Sekarsari dipersun­ting Soemantri. 

Namun, pernikahan Soemantri dengan Sekarsari tidak disukai saudaranya, Sudjono Puro. Bahkan, Sudjono berniat merebut Dewi Sukarsari. Karena ia kendil (tidak mau rukun) dengan saudara­nya, akhirnya terjadi perkelahian di suatu bukit hingga kemudian gunung tempat pertempuran itu disebut Bukit Kendil. 

Pada saat pertengkaran saudara itu berlangsung, bunga pengantin jatuh ke selatan bukit sehingga kawasan selatan Atas Angin pada kemudian hari disebut Desa Sekar. Pertengkaran dua bersaudara itu kemudian dilerai Ki Brojo, guru mereka. Setelah kejadian tersebut, Soemantri dan Dewi Sekarsari bersumpah setia di puncak Atas Angin.
Mereka berikrar akan saling setia sampai ajal menjemput. Legenda asmara keduanya dipercaya masyarakat sekitar hingga saat ini. Atas dasar cerita itulah, kawasan Atas Angin disebut Bukit Cinta. Untuk melestarikan kisah asmara itu, masyarakat menggelar acara sedekah bumi. 

Tradisi wujud syukur pada Tuhan itu juga dimeriahkan dengan pergelaran kesenian wayang tenggul di Atas Angin pada setiap Syawal. Masyarakat sekitar juga merawat sendang (mata air) Kembar di Desa Deling yang diyakini peninggalan Ki Brojo, termasuk merawat tempat bertapa Ki Brojo di sebuah tempat yang bernama Pusara Atas Angin. (M-2)

Penulis: M Ahmad Yakub
www.mediaindonesia.com

Minggu, 28 Agustus 2016

Memurnikan Niat Sedekah dengan Ser Maleng

Wajah Ki Mali, seorang guru mengaji di Dusun Tengger, Desa Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur, tiba-tiba ceria. Saat akan melaksanakan salat malam di kobhung (bangunan yang biasa dijadikan tempat istirahat dan salat) depan rumahnya, lelaki yang tinggal sendirian sepeninggal istrinya dan ditinggal anak-anaknya merantau itu mendapati sekarung beras jagung, tanpa diketahui siapa yang menaruh di depan pintu rumahnya.

Peristiwa itu tidak hanya terjadi sekali. Sebelumnya, kejadian beberapa kali hal yang sama juga terjadi. Terkadang berupa beras jagung (jagung kering yang sudah digiling), ubi jalar, kacang tanah, atau lainnya. 


Di wilayah perdesaan di Madura, kejadian seperti itu merupakan hal yang biasa terjadi dan disebut sadeka ngitek (sedekah sembunyi- sembunyi) atau juga disebut ser maleng (sedekah malam hari). Biasanya terjadi pada saat musim panen tanaman yang menjadi makanan pokok di wilayah tersebut. Ser maleng tidak hanya kepada tokoh masyarakat yang ekonominya pas-pasan dan ke fakir miskin, tapi juga ke sekolah, madrasah, atau tempat ibadah.

Sembunyi-sembunyi

Biasanya, sedekah itu dilakukan pada malam hari atau di saat penghuni rumah sedang tidak di rumah. Untuk tempat ibadah, sering kali diletakkan di bawah tikar atau alas ibadah. Budayawan Madura, Ibnu Hajar, mengatakan istilah sedekah ngitek karena sedekah tersebut dilakukan secara sembunyi- sembunyi tanpa sepengetahuan orang yang dituju, sedangkan istilah ser maleng diperkirakan berasal dari istilah shadaqatu assirri dalam bahasa Arab yang diadopsi ke bahasa Madura menjadi kata ser. 


Istilah maleng yang berarti pencuri, kata salah seorang penyair Madura itu, karena kebanyakan sedekah itu dilakukan pada malam hari seperti kebiasaan pencuri yang biasa melakukan aksi pencurian di malam hari, atau bersedekah dengan mencuri waktu di saat orang yang dituju tidak menyadari.

"Yang pasti, ser maleng bukan seperti kisah pencuri budiman dalam beberapa novel atau tayangan fi lm. Juga tidak seperti kisah Bajingan Lokajaya yang mencuri untuk bersedekah kepada fakir miskin. Tapi memang sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menjaga keikhlasan hati," kata Ibnu Hajar. Memang tidak diketahui asal mula tradisi tersebut. Namun, kebiasaan yang kini sudah mulai pudar dan hanya bertahan di beberapa kawasan pelosok pulau garam itu diperkirakan berawal saat masyarakat di pulau itu mulai memeluk Islam.

Kebersamaan

Awalnya karena takut kepindahan mereka dari agama sebelumnya, Buddha, ke Islam diketahui penguasa yang masih belum muslim. Namun belakangan, setelah kerajaan di Madura menjadi kesultanan Islam, kebiasaan ser maleng atau bersedekah diam-diam itu menjadi kebiasaan. Pemerhati kebudayaan Madura, Syukron Rumadlon, mengatakan ajaran Islam yang mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa saling bantu sejalan dengan tingginya rasa kebersamaan masyarakat Madura pada masa lalu.

"Ikatan kekerabatan dan kesukuan di Madura cukup kuat dan ditopang ajaran Islam yang sangat menekankan kebersamaan," kata dia. Ia mengakui saat ini ada kecenderungan sikap kebalikan yang ditunjukkan sebagian kelompok masyarakat, dengan memu blikasikan kegiatan sedekah dan pembagian zakat, bahkan tidak jarang menggunakan sponsor. 

Namun, kebiasaan ser maleng masih tetap 'terjadi' terutama di wilayah perdesaan. Bahkan, jika sebelumnya bantuan untuk lembaga pendidikan dan tempat ibadah biasa diletakkan di bawah alas duduk, saat ini, kata dia, justru sering didapatkan kiriman bantuan melalui transfer bank dengan merahasiakan identitas pengirim. Salah satu dosen di Universitas Madura itu meyakini ser maleng tidak akan hilang meskipun saat ini sarana informasi sudah sangat mudah diakses dan makin banyak kelompok yang melakukan pencitraan melalui sedekah yang diiklankan.

"Sesuatu yang berangkat dari akar budaya tidak akan mudah dihapuskan. Ser maleng merupakan tindakan yang berangkat dari akar budaya. Mungkin hanya caranya saja yang berubah," kata Syukron. (M-2)

Penulis: Mohammad Ghazi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 21 Agustus 2016

Maen Pukulan ala Betawi

Busana itu punya ciri leher yang bulat. Ia juga berlengan panjang. Pada badannya dibuat longgar. Celananya pun biasanya dibuat menggantung agar terlihat lebih simpel. Itulah setelan baju pangsi yang identik dengan orang Betawi.

Baju pangsi dahulu biasa dipakai para jagoan atau orang pandai berkelahi. Dari sisi warna, biasanya orang yang jago silat serta pemuka agama memakai warna cerah seperti krem atau putih, sedangkan warna hitam biasanya dipakai para jagoan silat.

Bukan rahasia lagi, tanah Betawi adalah surga silat. Hampir separuh dari sekitar 600-800 aliran atau perguruan yang ada di Indonesia berasal dari Jakarta. Ada sekitar 317 aliran maen pukulan di tanah Betawi, yang merupakan pengembangan dari sekitar 100-200 pecahan aliran dari empat aliran inti. Jumlah 317 aliran tersebut merupakan data yang dimiliki PPS Putra Betawi.

Betawi kaya akan silat atau dalam dialek lokal disebut maen pukulan. Ada ungkapan, “Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade maenannye (setiap hutan ada macannya, setiap kampung ada mainannya).” Hampir di setiap kampung dapat ditemukan maen pukulan, yang tentunya berbeda satu sama lain.

Lalu dari manakah asal silat di tanah Betawi? Pangsi juga ternyata bisa menjadi penanda asal mula silat Betawi.

Berdasarkan akar maen pukulan, GJ Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi me­ngelompokkan aliran maen pukulan Betawi menjadi dua kategori. Pertama yaitu akar aliran luar (aliran dari luar Nusantara) dan kedua yaitu akar aliran dalam (aliran Nusantara). Aliran luar yang banyak memengaruhi maen pukulan Betawi ialah ilmu bela diri kaum imigran Tionghoa. Hingga akhirnya, itu menjadi aliran maen pukulan Betawi yang berdiri sendiri, terlepas apakah aliran ilmu bela diri dibawa para imigran itu.

Pangsi ditenggarai berawal dari cara berpakaian orang Tionghoa, baju tui khim dan celana phang si, serta penggunaan kain ciu kin yang kerap dikenakan di leher para jago kuntao peranakan Tionghoa. Pada masyarakat Tionghoa peranakan di Kampung Cina Benteng Tangerang, tradisi mengalungkan ciu kin atau cukin di leher sebagai penanda yang bersangkutan memiliki kemampuan maen pukulan atau terkait dengan dunia maen pukulan, seperti para jago dan centeng.

“Tradisi berpakaian jago kuntao di Betawi bermetamorfosis menjadi baju tikim, celana pangsi, dan sarung yang dikalungkan di pundak. Seiring dengan perjalanan waktu, hal itu berkembang dan memiliki makna filosofi yang disesuaikan dengan adat istiadat orang Betawi umumnya dan kalangan maen pukulan khususnya sebagai dua simbol identitas Betawi, yaitu salat dan silat.” Begitu menurut analisis GJ Nawi.

Para imigran Tionghoa berasal dari Tiongkok Selatan. Mereka bermigrasi ke Betawi setelah Dinasti Manchu berkuasa di Tiongkok pada 1644. Mereka mempunyai ciri antara lain rambut bagian depan dicukur dan memakai taucang. Mereka membawa kebudayaan negeri asalnya, salah satunya ilmu bela diri ke Batavia dan mengembangkannya.

Orang-orang di daratan Tiongkok menyebut ilmu bela diri dengan yu su yang artinya ilmu kelemasan atau wushu yang berarti seni perkasa atau seni perang. Ketika orang Tiong­kok Selatan mengembangkannya di Betawi, oleh orang Tionghoa peranakan itu disebut kuntao. Secara etimologi, kuntao berasal dari dialek Hokkian, yaitu kun thau yang secara harfiah berarti kepalan tangan atau tinju, atau secara bebas memiliki pengertian sebagai seni bertarung.

Imigran Tionghoa


Pengaruh ilmu bela diri imigran Tionghoa juga dapat dilihat dari karakter khas gerakannya yang cepat, kuat, dan energik, dengan variasi metode pukulan dan suara hentakan menyertai gerakan-gerakannya. Dominasi tangan sebagai karakter serangan dan pertahanan dalam maen pukulan Betawi menandakan adanya pengaruh ilmu bela diri yang dibawa orang-orang selaun Sungai Yangtze (Tiongkok Selatan), yang dikategorikan sebagai aliran nan chuan atau ilmu bela diri aliran selatan.

Pada masa itu, mulai muncul entitas ilmu bela diri penduduk natif yang baru terbentuk. Sebagian besar masyarakat menyebutnya dengan istilah lokal, yakni maen pukulan.

Berangsur-angsur pula, muncul nama-nama aliran maupun gaya maen pukulan di Batavia kemudian disusul kemunculan sosok pendekar, jawara, jago, dan jagoan yang piawai ilmu bela diri. Pada umumnya, nama aliran diambil dari nama seseorang yang mengkreasikan atau nama kampung tempat asal maen pukulan itu.

Sebelum dengan budaya Tionghoa, dapat pula ditemui akulturasi aliran bela diri di Nusantara. Banyak bela diri dari berbagai daerah yang turut menyuburkan maen pukulan Betawi, seperti dari Tatar Sunda, Banten, dan Sulawesi.

Menilik sejarahnya, hunian awal masyarakat Betawi di Kalapa (sebelum Jayakarta) telah berfungsi sebagai pelabuhan laut penting pada masa Kerajaan Tarumanagara pada abad ke 4-7 Masehi. Sejak saat itu pula, beragam etnik berbaur di tanah Betawi.

Ilmu bela diri etnik Sunda menjadi dasar bagi aliran-aliran maen pukulan. Ruang lingkup etnik Betawi secara demografi berada di jazirah Jawa bagian barat. Maen pukulan Betawi yang banyak berakulturasi ialah yang berada di pinggiran yang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Banten.

Ilmu bela diri orang Melayu dan Bugis tidak ke­tinggalan memperkaya perbendaharaan teknik dan aliran maen pukulan Betawi. Beberapa gerakan khas bentuk lenggang dapat ditemukan pada komunitas Betawi di daerah Mampang, Tenabang, dan Kepulauan Seribu.

Penyebutan gerak jurus dan aliran yang masih menggunakan istilah asli menjadi indikasi adanya pengaruh itu. Sebagai contoh, sendeng dalam aliran pencak silat Bugis bertransformasi menjadi sinding dalam aliran maen pukulan Betawi. Pengaruh ilmu bela diri orang Mandar ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu istilah siliwaki atau seliwaki untuk menyebut seliwa di tanah Betawi. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi

www.mediaindonesia.com

Minggu, 31 Juli 2016

Kendi, sang Penanda Peradaban

Bentuknya sederhana pada awal kemunculannya. Namun, seiring waktu berjalan, ia pun berubah. Ia tidak lagi seperti dulu. Ia mengikuti alur pikir manusia yang senantiasa berkembang. Bahkan saat ini, ia telah mengalami perluasan fungsi. Dari hanya tempat menyimpan air minum, ia menjelma menjadi penanda peradaban. Kendi tegar berdiri menapak pada alasnya yang datar, seperti ia menapak pada tiap masa peradaban, menjadi penanda dari proses perubahan, dan perkembangan pemikiran manusia.

Bermula dari rasa haus dan hasrat mereguk air esensi dari kehidupan, setangkup telapak tangan tak cukup menadah air pelepas dahaga itu. Lalu muncullah kendi. Awal kemunculannya hanya punya satu lubang. Tempat masuk dan keluar tidak dibedakan. Sungguh seserhana. 


Namun, siapa sangka bentuk sederhana itu nyatanya punya andil besar. Berdasarkan catatan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kendi Nusantara menunjukkan begitu bervariasi rupa dan ragamnya. Kapan sebenarnya kendi mulai dikenal di Nusantara? Dalam catatan penemuan arkeologis, sejak 4.000 tahun lalu barang tanah liat poles warna merah mulai digunakan penduduk Kepulauan Nusantara.

Mewakili era itu ialah Situs di Leang Tuwo Manee, Maluku Utara. Pada zaman itu, koloni Austronesia mulai menghuni kepulauan. Mereka mulai hidup menetap, menjinakkan binatang, serta bertani bijian dan umbi. Kendatipun barang tembikar sudah dibuat, bentuk kendi tanah liat belum dikenal. Mereka baru menggunakannya untuk pengolahan makanan, seperti periuk dan tutupnya.

Seri penemuan kendi juga mulai muncul ketika perkakas logam mulai dikenal. Masa menjelang sejarah ditulis. Beberapa penemuan itu antara lain di Kerici, yaitu ditemukan kendi berbentuk botol yang dipoles warna merah dan dihias gores geometris pada lehernya yang pendek. 

Di Pantai Utara Jawa, kendi juga ditemukan di Buni yang berlokasi antara Bekasi dan Karawang. Ciri kendinya tanpa cerat leher tinggi bergelang, badannya kerucut terpotong; bentuk lain leher pendek, serta bentuk kepala setangkup kerucut dihiasi panil bergores berisi titik-titik dan binatang.

Kendi juga ditemukan di Situs Gilimanuk, Bali. Kendi itu difungsikan sebagai bekal kubur dengan bentuk tanpa cerat dan leher serupa kendi Buni. Badannya setengah bulat, dasar cembung. Berdasarkan penanggalan situs penemuan, kendi-kendi itu diperkirakan berasal dari abad pertama sampai 200 Masehi.

Kendi masa prasejarah
Ia punya badan cembung dengan tinggi menyudut di bagian tengah (proses sambungan). Badannya juga mengecil ke ujung, tanpa corot. Kendi ini ditemukan di Rengasdengklok dan diperkirakan dari abad ke-1. Masih dari Rengasdengklok, juga ditemukan kendi masa prasejarah abad ke-1. Kendi ini punya badan silindris mengecil ke bagian atas. Dasarnya datar. Lehernya tinggi menyudut di bagian tengah hasil dari proses persambungan. Badannya dihias dengan garis-garis geometris.

Juga ditemukan kendi tembikar masa prasejarah di Liang Bua, Flores Barat. Kendi ini diperkirakan dari abad ke-1. Badannya bulat seperti disambung di bagian tengah hingga bersudut. Bagian bawah sedikit cembung. Leher tinggi dan sedikit menggelembung di bagian tengahnya. Ujung tepian tegak yang digunakan untuk memasukkan air dan mengeluarkan air. Permukaan halus dan mengilap hasil proses upam.

Berlanjut pada penemuan kendi pada masa kerajaan Majapahit, terdapat beberapa kendi yang ditemukan di Trowulan. Diperkirakan kendi-kendi itu berasal dari abad ke-12-13-an. Pertama, kendi berwarna krem, bentuk seperti labu badan berganda. Corotnya melengkung dengan cincin diujungnya. Kendi ini dibuat dari bahan glasir hematit merah. Ia punya leher pendek dan ujung mulut melebar ke samping seperti payung.

Kedua, kendi Majapahit berbahan tembikar putih. Badannya cembung hampir membulat. Lehernya panjang mengecil ke atas dan bagian tengah bercincin. Ujung mulut tepian melebar seperti payung. Corot panjang lurus mengecil ke ujung. 

Ketiga, kendi Majapahit berwarna kemerahan. Badan cembung. Le­hernya pendek. Ia punya gelang antara badan dan leher. Bagian tengah leher juga bergelang melebar seperti payung. Tepiannya tegak. Corotnya cembung mengerucut pendek, bergelang di bagian ujung, dan mengecil. 

Keempat, kendi susu warna merah. Permukaannya halus hasil dari proses upam. Badannya cembung membulat dengan hiasan garis-garis vertikal timbul. Lehernya panjang bercincin antara badan dan leher. Ujung leher melebar seperti tutup yang telungkup, tepian tegak.

“Kendi berkembang mengikuti geliat zaman,” begitu menurut Sony C Wibisono dalam pameran berjudul Kendi Kundi Kuno Kini pada Juni lalu. Artinya, kendi tak semata wadah fungsional, makna sosial budaya juga disematkan pemakainya. Kendi akan berkembang mengikuti perubahan pemikiran masyarakat pada masanya. 

Bentuknya memang sederhana pada awal kemunculannya. Namun, seiring waktu berjalan, ia pun berubah. Ia tidak lagi seperti dulu. Ia mengikuti alur pikir manusia yang senantiasa berkembang. Bahkan saat ini, ia telah mengalami perluasan fungsi. Ia dulu hanya tempat me­nyimpan air minum. Namun saat ini, beberapa sengaja diciptakan untuk memenuhi hasrat estetik pembuatnya. Kendi telah menjelma menjadi penanda peradaban. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 24 Juli 2016

Menelusuri Jejak Siti Hinggil Blambangan

Srolah berbagi ruang, berdesakan, saling mendampingi antara yang dulu dan yang baru, gapura itu berdiri kukuh. Bentuk kuno gapura itu khas layaknya bentuk yang sering didapati pada bentuk gapura candi. Gapura berbahan batu bata merah berdiri berimpit dengan bangunan modern yang berada di kedua sisinya. Samping kanan dan kiri tidak ditemukan pembatas ruang kosong. Sebab langsung bertemu dengan bangunan lain yang digunakan penduduk sekitar sebagai kantor dusun. 

Beberapa bangunan di sekitarnya berfungsi sebagai toko dan rumah. Di tengah gapura, ada dua daun pintu yang terbuat dari teralis besi. Tidak begitu lebar jarak antarbesi sehingga ketika pintu ditutup masih didapati pandang tentang yang ada di balik teralis. Di samping pintu teralis, dua pintu berdiri papan nama bertulis ‘Situs Siti Hinggil Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar’. Maklumlah, Situs Siti Hinggil ini berada di sekitar kawasan jual beli. Ia berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Kurang lebih 50 meter dari pertigaan tersebut. Situs Siti Hinggil berada di pesisir pantai dan berdekatan dengan Pelabuhan Muncar. lebih kurang 400 meter arah utara dari Tempat Pelelangan Ikan.

Lepas dari pintu teralis, ada tangga bertingkat yang terbuat dari batu. Tidak begitu lebar memang, tapi cukup untuk dilewati dua orang berjalan berdampingan. Semakin ke atas sampai pada dataran yang lebih luas. Cukup luas sampai ada semacam saung yang bisa digunakan untuk duduk setelah lelah menapaki tangga. 

Ketika kita mendengar kata Banyuwangi, tentu masih lekat dalam ingatan tentang suku Osing, Pantai Lengkung, Hutan Alas Purwo, dan Kerajaan Blambangan. Jika yang sebelumnya masih bisa didapati sekarang ini, bagaimana dengan Kerajaan Blambangan? Tentu sudah tidak ada lagi. Namun, peninggalannya masih dapat ditemui meski sangat sedikit. Salah satunya Situs Siti Hinggil.

Siti Hinggil atau Setinggil dalam sebutan masyarakat setempat berasal dari kata siti yang berarti tanah dan hinggil/inggil berarti tinggi. Ya benar saja, ketika naik ke puncak Siti Hinggil, pemandangan lautan lepas dengan kapal-kapal nelayan terlihat cukup jelas meskipun sedikit terhalangi oleh bangunan rumah susun yang padat di sekitarnya. Juga tampak jelas pemandangan Pelabuhan Muncar. 

Ramainya ratusan kapal didominasi warna hijau, kuning, dan merah. Kapal nelayan itu tengah bersandar di kolam labuh selepas melaut menangkap ikan. Itulah mengapa dinamakan Siti Hinggil, sebab objek ini memang paling tinggi daripada tempat sekitar. “Siti Hinggil itu berada di ketinggian 61 dari permukaan laut (dpl),” terang terang Slamet Ari Wibowo, juru kunci yang sekaligus menjadi kamituwo (kepala dusun) di Dusun Muncar.

Siti Hinggil merupakan salah satu situs peninggalan Kerajaan Blambangan yang berupa daratan tinggi yang digunakan sebagai pos pengintai musuh sekaligus lalu lintas transportasi laut. Letak Siti Hinggil dinilai sangat strategis dan digunakan sebagai pos pengawasan pada masa Kerajaan Blambangan, untuk mengawasi lalu lintas transportasi laut di sekitar Teluk Pang-Pang (laut yang menjorok ke daratan dari Muncar) hingga ke arah Selatan Semenanjung Blambangan. 

Menurut cerita, telapak kaki itu ialah tempat berdiri Prabu Bhre Wirabhumi untuk memantau segala kegiatan yang ada di Blambangan. Siti Hinggil dulunya merupakan pos pemantauan Kerajaan Blambangan. Saat itu kerajaan tersebut di­pimpin Bhre Wirabhumi yang bergelar Prabu Minakjinggo pada pertengahan abad ke-13. “Siti Hinggil itu memang bekas telapak kakinya Bhre Wirabhumi. Ia anak Raja Majapahit dari istri selir. Beliau menjabat sebagai raja Blambangan dulu pada abad ke-13,” lanjut Slamer. Jejak-jejak peninggalan pasukan yang dipimpin Prabu Minakjinggo di lokasi tersebut yang ada hanyalah telapak kaki di atas bebatuan yang hampir hancur dimakan zaman.

Mengawasi kapal
Dari tempat tersebut terlihat jelas selat Bali dan Tanjung Sembulung. Tempat tersebut juga merupakan tempat pengintaian kapal-kapal yang melewati Selat Bali. Pada pertengahan abad ke-13 pun, masyarakat sering menggunakan transportasi laut sebagai alat penghubung satu daerah ke daerah lainnya sehingga Prabu Minakjinggo menempatkan pasukannya untuk berjaga-jaga di pos Siti Hinggil tersebut. 

Keterangan fungsi Siti Hinggil ini juga diperkuat dengan keterangan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana. Ia mengatakan bahwa situs tersebut memang untuk memantau kapal-kapal yang mendarat ke bumi Blambang­an, atau sebaliknya, untuk mengawasi kapal yang meninggalkan Blambangan.

“Memang itu dibikin untuk mengawasi kapal, untuk mengintai pasukan musuh yang datang dari selat Bali,” terang sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana.
“Jadi sebelum masa VOC datang, itu dipakai prajurit Blambangan untuk melihat kalau ada kapal-kapal yang akan mendarat ke Blambangan,” imbuh dosen yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Leiden Belanda itu. 

Hasil disertasinya lalu diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan, 1763-1813. Fungsi itu juga masih berlaku ketika Belanda datang. Dulunya, tempat ini dipakai VOC untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan. Pelabuhan Muncar menjadi jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 di Blambangan. 

Ketika 1771-1773 itu ada perang besar. Belanda menduduki wilayah pesisir. Belanda menjaga banyak tempat, terutama di pesisir, karena diduga banyak bantuan dari pemberontak melawan VOC datang dari Bali. “Pelabuhan Muncar itu dulu namanya Lopampang atau Pelabuhan Ulu Pampang. Jadi kalau pasukan VOC kalau mendarat ke situ,” imbuhnya. 

Sampai sekarang, Pelabuhan Muncar tetap padat karena menjadi tempat bergantung 13 ribu nelayan mencari ikan dengan 1.700-an kapal. Hasil tangkapan nelayan dalam setahun rata-rata mencapai 30 ribu ton ikan yang menjadikan Muncar sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia. Sampai sekarang pula, Siti Hinggil tetap menjadi rujukan wisata bagi masyarakat sekitar, entah itu untuk wisata alam, maupun wisata religi. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 10 Juli 2016

Membuka Pagar Magis saat Menerima Tamu

Hentakan musik mengiringi kegesit­an dua sesepuh kampung beradu jurus. Rentak kaki dan kecepatan tangan silih berganti mereka peragakan. Akan tetapi, tidak ada kontak fisik dalam jual beli pukulan itu. Bentangan bambu berbungkus kertas berwarna-warni di tengah arena membatasi gerak dua ‘jagoan kampung’ tersebut untuk saling serang. 

Atraksi pencak silat tangan kosong ini disuguhkan dalam tradisi penyambutan tamu di komunitas adat Dayak Limbai di Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Tradisi ini dikenal dengan potong ompong. Ompong ialah sebutan untuk sebilah bambu yang melintang di lokasi penyambutan tamu.

Tidak lama berselang, lima gadis berpakai­an adat tampil di arena penyambutan untuk giliran beratraksi. Dengan anggun dan menggemulai, mereka mempersembahkan tarian sebagai ucapan selamat datang. Beberapa perempuan separuh baya pun menghampiri tetamu saat tarian berlangsung. 


Mereka menyuguhkan arak dan tuak yang dibawa dengan nampan. Setelah menikmati tarian dan suguhan arak serta tuak, tetamu dipersilakan berdiri di depan ompong. Lelaku ritual pun dimulai. Tetua adat yang berhadapan dengan tetamu di seberang ompong kemudian merapalkan mantra. Ritual dilengkapi sesajian berupa gum­palan tanah, sebutir telur ayam, dan beras kuning sebagai simbolisasi Tanah Air dan keberkatan. Pemimpin rombongan tamu harus menginjak gumpalan tanah, dan memecahkan telur ayam dengan cara serupa sebagai bentuk penghormatan dan keabsahan acara.

Sembari terus melafalkan mantra, tetua adat mempersembahkan seekor ayam hitam untuk disembelih salah seorang atau pemimpin rombongan tamu. Darah hasil sembelihan kemudian dipercikkan ke beras kuning berwadah empat mangkuk plastik. Pemimpin rombongan juga diminta memotong seekor babi dengan menombak bagian leher hewan tersebut untuk melengkapi persembahan. “Kalau ada kunjungan tamu atau masalah adat, saya harus turun ke lapangan langsung padahal usia sudah lanjut,” kata Ariah, 76, wakil temenggung yang menjadi salah seorang pesilat pada potong ompong, beberapa waktu lalu.

Membuka pagar
Prosesi potong ompong dilanjutkan dengan pemasangan gelang oleh tetua adat kepada seluruh tamu. Gelang yang telah diritualkan ini dianyam dari akar pohon tengang dengan berhiaskan satu atau beberapa manik-manik. Gelang perlambang ikatan persahabatan itu dianggap bertuah sehingga pantang dilepas pemakai­nya. “Biarkan sampai terputus sendiri. Kalau dibuka (dilepas), bisa lemah semangat,” kata tokoh masyarakat Dayak Limbai, Bahen. 

Tuak kembali disuguhkan kepada pemimpin rombongan sebelum berlanjut ke acara puncak, yakni pemotongan ompong. Minuman tradisional tersebut kali ini disuguhkan dalam bekas paruh dan tanduk enggang. Pemimpin rombongan bisa meneguk sendiri atau berbagi dengan koleganya. Suguhan ini sebagai penghormatan warga kepada tetamu.

Pemotongan ompong harus dilakukan dalam sekali tebasan mandau. Warga bersama tetamu pun serempak memberikan aba-aba hingga hitungan ketujuh untuk menyemangati saat pemotong ompong mulai mengayun-ayunkan mandau. Begitu pula ketika ompong dapat ditebas, sorak-sorai juga bergemuruh sebagai luapan kegembiraan. Seorang warga kemudian mengalungkan rangkaian bunga ke pemimpin rombongan sebagai ucapan selamat. Rombongan pun selanjutnya menghampiri warga yang berbaris rapi di pingir lokasi acara. Mereka membalas ucapan selamat dengan bersalaman.

Tradisi potong ompong menandai bahwa rombongan telah sah dan diperkenankan memasuki wilayah komunitas adat di Desa Belaban Ella tersebut. Menurut Bahen, ompong menjadi semacam pagar untuk orang yang baru pertama kali masuk ke perkampungan mereka. “Sebelum masuk (ke perkampungan) harus memotong ompong dahulu sebagai syarat agar tidak kerasukan atau terhindar dari pengaruh-pengaruh kayak gitu,” jelas Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Belaban Ella ini.

Memelihara tradisi
Seusai potong ompong, pemuka adat dan sejumlah warga kemudian mengantar rombongan ke lokasi tujuan atau tempat beristirahat. Aneka penganan tradisional pun disuguhkan kepada tetamu. Ada kue lulun yang terbuat dari tepung beras dan kelapa. Ada juga rompo yang terbuat dari tepung ketan digoreng, hingga kembang goyang dan rengginang. “Ini semua kue kampung, dan harus dicoba (dicicipi). Kalau tidak, bisa kampunan (pamali),” kata seorang warga Orpa.

Potong ompong juga digelar warga saat pernikahan adat. Rombongan mempelai lelaki wajib menjalani ritual potong ompong sebelum memasuki lokasi acara. Selain bambu, ompong juga bisa terbuat dari kayu, tebu, batang pisang, atau seutas tali. Potong ompong hanya satu di antara beragam tradisi yang masih dipegang teguh oleh komunitas adat Dayak Limbai di perkampungan Sungkup. Di waktu yang sama mereka juga tengah bersiap menggelar mopat daun padi. Mopat daun padi ialah ritual untuk menyuburkan padi, yang dimulai sekitar pukul 02.00 WIB.

Seusai ritual yang berlangsung hingga menjelang matahari terbit itu, warga pun harus menghadiri monik anak. Monik anak atau pogowai mandi anak ialah tradisi memandikan balita berusia tujuh bulan hingga setahun di sungai. Saat itu ada dua balita yang bakal menjalani selamatan tersebut. Tradisi dan ritual juga diterapkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hasil hutan, misalnya, hanya boleh diambil secukupnya untuk kebutuhan keluarga. Itu pun tidak boleh sampai merusak lingkungan. 

Sementara itu, lokasi perladangan ditetapkan berdasarkan petunjuk spritual, mencermati perilaku satwa, fenomena alam, dan letak lahan. Semua ketentuan itu diatur dalam hukum adat yang diberlakukan secara ketat, dan ada sanksi bagi pelanggar. Hutan di perkampungan Sungkup pun tetap menghijau karena warga menjaganya dengan menerapkan kearifan lokal. (M-2)

Penulis: Aries Munandar
www.mediaindonesia.com

Mengenal Filosofi Batik Rifa’iyah

Sepintas, tidak tampak ada perbedaan dengan Batik Rifa’iyah. Kain itu mirip dengan batik pesisir lain yang berasal dari Pekalongan, Brebes, Tegal, dan Indramayu.

Beberapa motif, pola, dan warna bahkan punya kemiripan dengan batik pesisir yang banyak di penga­ruhi kebudayaan dari luar, misalnya Tiongkok, Belanda, dan Arab.

Namun, jika diperhatikan lebih lanjut, ada yang unik dengan batik Rifa’iyah. Motif yang berhubung­an dengan benda bernyawa tidak digambarkan sesuai persis sama aslinya. Misalnya, dengan hanya menggambarkan sayapnya atau membuat guratan di lehernya sehingga mengesankan gambar hewan yang sudah disembelih.

Bukan rahasia lagi, bahwa satu dari sekian budaya warisan Indonesia yang sudah diakui UNESCO ialah batik. Seni membatik punya peran penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Karena itu, seni ini merupakan identitas sekaligus penguat karakter bangsa.

Lebih dari itu, batik ternyata juga menjadi media dakwah bagi para ulama di Indonesia. Perkembangan batik yang banyak terjadi di daerah santri membuat pengaruh Islam turut mewarnai perkembangan batik. Tak mengherankan jika batik merupakan media perjuangan sekaligus menjadi media dakwah.

Batik Rifa’iyah, begitu kain itu disebut, ialah salah satu motif yang menjadi kekhasan dari komunitas Rifa’iyah di Batang, Jawa Tengah. Sebutan Rifa’iyah diambil dari seorang tokoh agama bernama KH Ahmad Rifai. Sebagaimana disarikan dari buku Rembug Batik karya Budi Mulyawan dkk.

Ahmad Rifai berdakwah sekitar 1835 dan menulis buku sebanyak 67 judul dalam jangka 21 tahun. Ada yang 1 judul memuat 4 buku lebih. Dari jumlah tersebut, baru 64 yang ditemukan, sedangkan sekitar tiga karangannya tersisa di Amsterdam.

Ahmad Rifai dikabarkan dari Yogyakarta. Dahulu ia lahir di Kendal. Bapaknya bernama Maroko. Ia juga sempat diasingkan dari Kaliwungu Kendal ke Kalisalak-Batang. Konon, beliau satu zaman dengan KH Muhammad Cholil Bangkalan (Mbah Cholil) yang juga pernah menjadi buruh membatik di Kebon Candi, Pasuruan, dan sezaman pula dengan Syekh Nawawi Bantan (Banten).

Ahmad Rifai banyak melakukan penerjemahan bahasa Arab ke Jawa agar menyesuaikan budaya lokal, termasuk melakukan semacam distorsi motif pada batik. Gambar hewan diubah agar tidak terlihat seperti makhluk hidup. Prinsip ini meluas hampir di semua batik pantura.

Ajarannya kemudian melahirkan komunitas Rifaiyyah di Kalisalak, Batang. Rifa’iyah ialah lembaga atau ormas yang ada sekitar 1876. Komunitas Rifa’iyah membuat batik dengan konsep tiga negeri yang sebenarnya bermakna tiga hal, yakni tauhid, tasawwuf,dan ushulfiqih.

Itulah mengapa bagi komunitas Rifa’iyah, membatik merupakan pengamalan syariah dan dakwah. Bagaimana membentuk komunitas dakwah. Begitu yang ditulis dalam buku Rembug Batik.

Batik Rifa’iyah mendapat pe­ngaruh kuat Islam, yang ditampilkan dalam motif dan coraknya. Meski demikian, Batik Rifa’iyah mempunyai nilai karya seni yang luar biasa. Batik Rifa’iyah dibuat dalam bentuk kain panjang, sarung, maupun selendang yang difungsikan sebagai penutup aurat.

Kepala terpenggal

Ahmad Rifai mengajarkan bahwa menggambar hewan (sebagaimana batik Belanda) termasuk perbuatan mungkar. Ada sekitar 17 motif yang orisinal dari Rifaiyyah pada sekitar 1958—1959. Namun, yang dominan dipakai hanya ada empat motif. Salah satunya ialah motif pelo ati.

Secara umum, ragam hias pelo ati menggambarkan dua motif ayam dengan kepala terpenggal. Pada bagian tubuhnya menunjukkan ragam hias menyerupai bentuk hati, dan pada motif ayam lainnya terdapat pelo. Pelo Ati digambarkan dengan motif-motif bunga dan dedaunan. Ragam hias pelo ati memiliki pemaknaan dakwah terhadap ajaran Ahmad Rifai mengenai ilmu tasawuf.

Pada ragam hias batik pelo ati juga terdapat gambar ampela burung yang digambarkan berada di luar tubuh burung. Ampela ialah tempatnya kotoran dan harus dibuang. Ambaran ampela mengibaratkan sifat-sifat buruk manusia yang harus dibuang.

Bagi komunitas rifa’iyah, membatik bukanlah kegiatan yang asing. Mereka telah melakoni aktivitas membatik sejak kecil, terutama bagi kaum wanita. Sewaktu mereka beranjak dewasa atau saat menunggu dipinang, para wanita ini membuat batik yang paling bagus dari sekian karya batik yang mereka pernah buat. Hasilnya, akan dikenakan bersama dengan mempelai pria pada acara pernikahan.

Selain karya seni, batik Rifa’iyah ialah salah satu bukti dari perjuang­an dan perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam buku Rembug Batik karya Budi Mulyawan, dkk, diungkap bahwa KH Ahmad Rifai mengharamkan batik Belanda pada saat itu. Ahmad Rifai menolak batik Belanda sebab menganggap penjajahan Belanda bukan cuma luar ataupun busana, melainkan juga sampai wilayah dalam atau keimanan. Sampai kemudian beliau diasingkan karena berbahaya untuk para penjajah.

Beliau sangat keras mewanti-wanti agar orang-orang tidak menjadi antek-antek Belanda. Dalam kitabnya, beliau mengatakan, luwih becik nandur telo tinimbong melu wong olo (lebih baik menanam ketela (mandiri) daripada menghamba pada orang yang buruk. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 03 Juli 2016

Mengenal Pesta Adat Uman Undrat

Pagi itu, jalanan masih agak basah. Sepanjang jalan yang telah diperkeras dengan batako ataupun beton masih didapati kubangan air. Terlebih bahu jalan yang tidak diperkeras, becek. Rupanya hujan semalam masih menyisakan sedikit kuasa basahnya. Tidak seperti biasa. Hari itu (21/5), banyak orang terlihat lebih sibuk. Mereka berlalu lalang di jalanan desa. Beberapa di antara mereka tidak mengenakan busana sehari-hari, tetapi mengenakan pakaian adat. 

Terlihat beberapa laki-laki mengenakan sapei sapaq, lengkap dengan mandau, sedangkan para wanita memakai ta’a. Banyak juga warga yang berkumpul di muka bangunan kayu persegi panjang, tepat di sekitaran papan yang bertulis Lamin Adat Dayak Kenyah Desa Budaya Lung Anai Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, provinsi Kalimantan Timur. 

Dinding bagian luar lamin adat dibalur rupa garis yang memanjang dari ujung ke ujung, sedangkan bagian dalam ruang juga menampak gambaran yang sama. Banyak garis lengkung menjulur dan menyambung satu sama lain seperti tali yang menyatukan dan menjalin tiap bagian. Rupanya bagian dalam bangunan itu cukup luas, sekitar 12 x 25 meter. Cukup untuk menampung seratusan kursi yang ditata agak berdekatan. Bagian tengah ruangan itu dibiarkan kosong.

Mereka bukan berkumpul untuk sekadar nongkrong, melainkan hendak merayakan Uman Undrat (pesta panen). Pesta adat panen raya suku Kenyah itu dilakukan setiap tahun setelah lepa atau (sesudah panen padi) pada Mei atau Juni. Tujuannya, sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Kenyah kepada Tuhan atas berkat dan rahmat yang diberikan berupa hasil panen padi. 

Pesta adat itu diawali dengan penyembelihan babi. Babi terbaik yang diperoleh dari pemburuan beberapa hari sebelumnya dikorbankan sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Babi diangkat dan kepalanya dipancakkan pada dua galah bersilang. Kepala Adat Lung Anai Ismail Lahang kemudian menyembelih babi tersebut sambil membaca doa-doa. Dahulu, darah babi tersebut kemudian dipercikkan ke tanah. Darah babi dipersembahkan kepada para Bali (roh) yang dipercaya masyarakat Kenyah sudah berjasa memberikan perlin­dungan dan tanah yang subur bagi mereka untuk berladang.

Pemotongan babi sekaligus menandai dimulainya acara. Setelah prosesi potong babi, sebagian orang yang hadir beralih ke dalam lamin adat. Sebagian lagi menggotong lesung ke dalam lamin. Beramai mereka mengangkat lesung panjang dari kayu bulat utuh. Prosesi ini ialah simbol kebersamaan dan kegotongroyongan. 

Puncak acara dari panen raya ini ialah prosesi Mecaq Undat. Mecaq Undat mengandung arti menumbuk dengan alu supaya beras menjadi halus. Setelah diletakkan di tengah ruang lamin, lesung kemudian diisi beras. Para wanita bersiap memukul lesung. Selang beberapa lama, semua yang hadir pun dipersilakan berturut dalam Mecaq Undrat.

Meko Undat
Setelah beras tadi di tumbuk, selanjutnya ialah Meko Undat. Proses ini dimaksudkan untuk mengayak beras dan memisahkan beras halus dan beras kasar. Betapa pun tumbukan beras, tetap saja akan ada beras yang luput dari tumbukan. Proses mengayak menggunakan alat ayakan tradisional suku Dayak yang terbuat dari bahan bamboudan rotan. Mengayak atau ngulek dalam bahasa Kenyah ialah hal sakral. Tidak bisa dilakukan sembarangan sebab hanya boleh dilakukan para wanita yang dituakan. 

Prosesi selanjutnya ialah memasukkan tepung dalam wadah yang terbuat dari ruas bambu muda berdiameter sekitar 3 cm. Bambu itu telah dipotong bagian atasnya untuk jalan masuk tepung. Bambu berisi tepung ini dinamakan Undrat. Di luar lamin, telah tersedia kayu bakal arang. Disamping tumpukan arang, terdapat dua bambu memanjang yang ditopang kedua ujungnya. Lalu, bambu-bambu yang sudah berisi adonan tepung ditata dalam dua baris.

Proses bakar ini dinamakan pesak undrat. Selama dibakar, Undrat dibolak-balik agar matang rata. Pesak undrat atau memasak undrat dilakukan para kaum adam/lelaki. Di tempat masak undrat tersedia tempayan panjang agar warga memiliki kebersamaan dan kegotongroyongan. “Kami dari nenek moyang sudah gotong royong. Karena sudah mendarah daging gotong royong,” terang Kepala Adat Desa Lung Anai Ismail Lahang. 

Setelah matang, undrat dibawa masuk lagi ke lamin. Proses berikutnya ialah Undrat Au. Prosesi ini dilakukan dengan mengikis peralatan dapur. Hasil kikisan tersebut lalu ditempatkan pada peristirahatan leluhur beserta undrat. Tujuan prosesi ini ialah agar para arwah juga turut menikmati hasil panen bersama keluarga dan masyarakat. Setelah prosesi itu, tibalah bagian akhir acara. 

Potongan bambu berisi tepung beras yang sudah masak dimakan bersama-sama. Undarat mempunyai rasa yang khas, yakni gurih, manis, dan harum daun nangka. Mirip seperti rasa kue putu, hanya lebih harum. Semua warga dan tamu-tamu yang ada makan undrat bersama-sama, dengan hati yang gembira, penuh syukur bahwa terbukti hasil pekerjaan warga berhasil dan dapat dinikmati. Itulah Uman Undrat.(M-2)

Penulis : Abdillah M. Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 19 Juni 2016

Tarian Klasik Keraton Jawa

Bedhaya Minangkalbu berbincang tentang kisah anak manusia dalam mengarungi hidup. Proses dilewati untuk menemukan kesejatian hidup.

Sembilan penari memasuki altar tari. Berlemah gemulai mereka berjalan berurutan. Tiba di tengah ruang, mereka sejenak merendahkan tubuh sampai posisi pinggul hampir sejengkal dari lantai.

Mereka tidak berbeda dalam busana, rias, maupun tata rambut. Para penari mengenakan dodot atau basahan. Penari juga menggunakan gelung rambut dan berbagai aksesori perhiasan, mirip seperti busana pengantin adat Jawa.

Iringan gamelan lembut mengalun. Bunyian itu serasa membimbing masuk dalam alam syahdu. Meski penuh bunyian, suasana yang terasa justru keheningan. Tidak ada suara mengentak sadar. Semua mengalir lembut. Berpadu gerak dengan gamelan pengiring. Bersama, mereka menari dengan halus dan tentram.

Sesaat kemudian mereka menundukkan badan sembari mengambil ancang-ancang untuk menyatukan telapak tangan tepat. Mereka menghormat kepada semua yang hadir. Bukan bermaksud menyembah sebab itu hanya sebagai penghormatan. Saat mereka menghormat, ke-10 jemari mengarah ke atas. Itu simbol pernyataan sembah kepada Sang Pencipta.

Penari membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu Batak, Gulu, Dhadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, dan Buncit. Kesemuanya menyimbolkan unsur yang terdapat dalam diri manusia. Batak sebagai simbol pikiran dan jiwa. Endhel Ajeg sebagai keinginan hati atau nafsu, sedangkan yang lain merujuk pada anggota tubuh.

Mereka menarikan tari Bedhaya Minangkalbu, sebutan berasal dari bahasa Sansekerta, yakni bedhaya. Kata itu punya arti menari berjajar bersama. Itulah sebabnya mereka berjumlah sembilan orang. Kesemuanya wanita.

Bedhaya ialah bentuk tarian klasik Jawa yang dikembangkan di kalangan keraton-keraton pewaris takhta Mataram. Bedaya ditarikan secara gemulai dalam tempo yang lambat, tentu dengan iringan gamelan, meski terkadang hanya beberapa alat dari gamelan yang dibunyikan saat gerak tertentu. Tarian Bedhaya sering kali merupakan hasil inspirasi raja mengenai suatu peristiwa tertentu.

Bedhaya merupakan tarian klasik Jawa dengan sembilan penari meski terdapat beberapa Bedhaya dengan tujuh penari yang dikembangkan di kalangan keraton pewaris takhta sejak zaman Kerajaan Mataram. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari, menurut Eny Sulistyowati, menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai sembilan dewa (Nawasanga). Atau versi lain menyebut sebagai lambang Sembilan Wali atau Wali Songo.

Disakralkan

Memang terdapat beberapa tarian Bedhaya yang disakralkan dan dikeramatkan. Bahkan beberapa Bedhaya mensyaratkan penari masih perawan, tidak sedang dalam masa menstruasi, dan didahului semacam puasa sebagai bagian prasyarat. Tarian Bedhaya jenis ini hanya ditarikan dalam saat tertentu, tidak diperkenankan ditarikan dalam setiap momen.

"Bedhaya memang ada beberapa yang tidak boleh dipertunjukkan di luar keraton," terang pencipta Bedhaya Minangkalbu, Eny Sulistyowati. Seperti Bedhaya Ketawang yang ditarikan saat perayaan jumenengan dalem (pelantikan) Sunan Surakarta. Tarian ini menceritakan pertemuan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul serta perjanjian keduanya untuk saling menjaga kedua kerajaan.

Ada pula Bedhaya Anglirmendung untuk mengenang pertempuran yang dipimpin Sri Mangkunegara I melawan pasukan gabungan Surakarta dan VOC di Ponorogo pada 1752.

Sesuai dengan khas Bedhaya yang punya cerita tentang sesuatu, Bedhaya Minangkalbu berbincang tentang kisah anak manusia dalam mengarungi hidup. Proses dilewati untuk menemukan kesejatian hidup. Bedhaya Minangkalbu bicara tentang kesejatian diri. Sebuah upaya untuk menemukan inti kebahagiaan yang tidak berhijab. Meraih hati di dalam hati. Sebuah keikhlasan tanpa batas. Sebuah rasa tanpa rasa. "Jadi semua rasa yang disebut bahagia dan senang sebenarnya tidak ada rasanya untuk orang yang ikhlas. Apalagi derita ataupun sedih," terang Eny.

Minangkalbu diambil dari sebuah lakon pewayangan Dewa Ruci. Lakon tersebut berkisah tentang Bima saat mencari ilmu kesempurnaan tentang makna kesejatian hidup. Minangkalbu ialah dasar samudra yang menjadi tempat Bima bertemu Dewa Ruci. Minangkalbu sekaligus menjadi tempat Bima menemukan kedamaian dan kebahagiaan.

"Jadi Minangkalbu sebenarnya inti pusaran samudra," sambung Eny.

Minangkalbu diambil dari kisah yang dialami Eny sebagai pencipta tarian. Ia berkaca pada proses kehidupan yang dialaminya. Seketika berada di puncak kejayaan, beberapa saat kemudian terpuruk dalam kenestapaan. Saat menemui banyak hambatan dan ringtangan, justru saat itulah ia menemukan kekuatan, semata-mata karena keikhlasan dan kepasrahan kepada Sang Pencipta.

"Di dalam kejatuhanku, aku temukan kekuatanku," tegas Eny. Minangkalbu juga menyoroti tentang mikrokosmos dan makrokosmos. Hubungan timbal balik antara manusia dan jagad (alam). Juga sumber inti meridian organ tubuh manusia yang terhubung dalam konstruksi kejiwaan manusia, 'nawa yatmaka' (babahan hawa sembilan).

"Sehingga Bedhaya merupakan perwujudan dari patrap manembah. Banyak nilai diungkapkan, seperti pencarian kesempurnaan hidup, penemuan jati diri, keserasian, keselarasan, keseimbangan hidup, cinta damai, tentang kewicaksanaan dan laku utama," papar Eny seraya menyebut tarian karyanya ialah sekaligus wujud bakti pada ibunya.

Proses 'ngrepto' (menciptakan) tarian ini juga tidak sebentar. Tarian Minangkalbu butuh waktu sekitar setahun untuk dikontemplasikan. Belum lagi proses penerjemahan dari konsep tari ke bentuk tari.

Gerak tarian yang lembut dan mengalun bukan diperoleh dari hasil hitungan yang disepakati para penari. Ketika mereka tengah menari, justru yang paling berperan ialah rasa gerak. Jelang pementasan pun masih ada beberapa ritual yang harus dijalani. Dari mulai prosesi pemberkatan di Kasunanan Surakarta sampai prosesi sengkeran (pingitan) para penari.

Biasanya, sehari sebelum pementasan, para penari menyatukan seluruh energi positif sekaligus menolak energi negatif. Mereka bersama berdoa dan membersihkan diri lahir batin, sekaligus menyatukan rasa untuk membangun sinergi harmoni, guna mempersembahkan tarian tentang 'rasa tanpa rasa' dan 'zikir lewat gerak'. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 12 Juni 2016

Adat Menyambut Tamu Terhormat di Suku Kamoro

Riuh suara pukulan tifa dan teriakan suara suku Kamoro asal Papua terdengar di halaman Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), Universitas Gadjah Mada. Keriuhan itu menandakan tamu kehormatan telah tiba di tempat acara. Tampak 4 orang dari suku Kamoro menari menyambut tamu dan 2 lainnya memukul tifa. Dari 4 orang yang menari, 1 dari mereka berada di depan tamu. Sambil tetap menari, ia mengarahkan tamu terhormat dengan tongkat komando menuju
tempat acara.

“Kami menyebutnya Taware, tarian untuk menyambut tamu yang kami hormati. Di tempat kami, upacara ini diikuti hingga ribuan orang dari suku Kamoro, sangat meriah, ” kata Herman Kiripi, salah seorang dari suku Kamoro, 2 Juni. Di PKKH, tarian tersebut hanya dilakukan sekitar tujuh orang sebagai bagian memperlihatkan kekayaan seni dan budaya Papua di acara Papuan Days yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Papua Gadjah Mada (Kempgama), pada 2 dan 3 Juni.

Dengan ramah, ia dan anggota suku Kamoro yang lain menceritakan tarian penyambutan tamu tersebut. Menurut dia, tarian dan suara yang dipertunjukkan menggambarkan kegembiraan dan penghormatan atas kehadiran sang tamu. 


Dengan menggunakan pakaian adat, mereka kemudian mengarak tamu terhormat hingga tempat tujuan. Pakaian adat yang mereka kenakan ialah tauri, rok rumbai-rumbai yang terbuat dari janur sagu, dan upauta, ikat kepala yang dihiasi bulu burung kasuari atau bulu burung cenderawasih.

Untuk perempuan, mereka menggunakan paita, penutup dada yang terbuat dari pohon waru. Selain itu, mereka juga menggambari tubuh mereka dengan cat warna putih dengan berbagai motif yang diperbolehkan untuk marganya, dari motif nsang ikan, jari kepiting, hingga kulit buaya. “Gambar di tubuh ini sudah menjadi adat turun-temurun di suku kami,” kata dia. 


Setelah pada siang hari tamu terhormat disambut dengan tarian Taware, pada malam harinya, suku Kamoro akan menggelar upacara Tifa Duduk. Acara Tifa Duduk dimulai setelah matahari tenggelam hingga fajar menyingsing. “Kami akan berpesta, makan-makan, dan menari hingga pagi,” kata dia.

Makanan yang disajikan ialah aneka ragam hasil bumi yang ada di lingkungan mereka, dari sagu, ikan, kepiting, ulat sagu, hingga tambelo (serangga di pohon sagu). Acara dimulai dengan menancapkan batang janur kelapa atau janur sagu di tempat pesta. Selain makan-makan, minum-minum, dan menari, di pesta tersebut ada yang bertugas mencabuti daun janur atau sagu dari batangnya satu per satu, kemudian membakarnya sebagai penanda waktu. 


Sebisa mungkin seluruh janur itu bisa habis tepat saat fajar menyingsing. “Yang menancapkan batang janur, membakar daun janur, dan yang mencabut batang janur dikerjakan marga-marga tertentu,” kata dia. Pesta Tifa Duduk berakhir dengan dicabutnya batang janur atau sagu. Setelah itu, pada pagi harinya, seluruh anggota suku Kamoro akan berkegiatan seperti biasa.

Suku Kamoro

Suku Kamoro hanyalah 1 dari sekitar 250 suku yang ada di Pulau Papua (berdasar jumlah bahasa yang dipublikasikan Summer Institute of Language). Istilah Kamoro muncul dari seorang misionaris Belanda. Menurut Octavianus Etapoka, salah seorang suku Kamoro yang juga pengelola Yayasan Baramowe Weyaiku Kamorowe, Kamoro dalam bahasa keseharian berarti ‘kita semua orang’. Istilah suku Kamoro terbilang baru karena dalam banyak publikasi sebelumnya mereka termasuk orang Mumuika pesisir.

Mereka hidup di area seluas 250 km pesisir Selatan, antara Teluk Etna di sisi barat dan Sungai Minajerwi di bagian timur. Populasi mereka lebih dari 18 ribu jiwa dan tersebar di 40 desa. Mereka berbicara dengan bahasa Kamoro, yang memiliki enam dialek. 

Suku Kamoro memiliki kehidupan tradisi seminomaden dan tidak bisa dipisahkan dengan 3 S, yaitu sagu, sungai, dan sampan. Dari kehidupan itu, berbagai seni pun terlahir, seperti seni ukir dan gambar di tubuh. Motif ukiran dan gambar yang mereka hasilkan tidak lepas dari yang mereka temui sehari-hari, seperti insang ikan, jari kepiting, dan kulit buaya.

Dalam mengukir, kata dia, mereka tidak bisa seenaknya membuat ukiran. Tiap-tiap marga memiliki motif masing-masing yang tidak boleh dikerjakan marga lain. Selain itu, hanya keturunan laki-laki yang boleh mengukir. Adat kebiasaan di suku Kamoro dilakukan secara turun-temurun. “Kami masih tetap melestarikan adat kebiasaan kami hingga sekarang,” kata dia. Menurut dia, seni budaya Papua sangat kaya. 

Suku Kamoro hanyalah salah satunya. Untuk memperkenalkan seni-budaya suku Kamoro kepada masyarakat yang lebih luas, sering kali ia pergi keluar Papua untuk menggelar pentas seni dan pameran seni budaya suku Kamoro, termasuk di UGM dalam Papua Days.

Suku Kamoro merupakan salah satu suku yang berada dekat dengan daerah kerja PT Freeport Indonesia. Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengungkapkan, pihaknya mendukung berbagai hal terkait dengan pelestarian seni budaya yang ada di Papua, termasuk suku Kamoro. 

Suku Kamoro sengaja diajak ke Yogya untuk memperkenalkan seni dan budaya mereka secara lebih dekat ke masyarakat Yogya dan sekitarnya serta pelajar dan mahasiswa yang ada. Menurutnya, Papua merupakan daerah yang memiliki ragam budaya yang kaya dan unik. “Komitmen tinggi dari kami dalam mendukung seni dan budaya Papua agar lebih dikenal secara luas,” pungkas dia. Suku Kamoro hanyalah satu dari sekian banyak khazanah seni dan budaya Indonesia yang ada dan terus dilestarikan. (M-2)


Penulis: Ardi Teristi Hardi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 29 Mei 2016

Seusai Ritual Adat Kematian itu Membebaskan

Masyarakat adat Manggarai Tengah meyakini peristiwa kematian bisa merusak kehidupan manusia di alam fana, tanaman, hingga ternak peliharaan yang menopang kehidupan manusia. Ketakutan akan dampak buruk yang disebabkan peristiwa kematian dan murka roh jahat menyebabkan masyarakat adat Manggarai Tengah menggelar ritual adat kematian.

Dipercaya, rangkaian ritual adat yang dilaksanakan saat kematian mampu menghindarkan petaka bagi sanak keluarga orang meninggal dari pengaruh roh jahat. Sebaliknya, jika ritual adat tidak dilaksanakan, kerabat mendiang, hewan peliharaan, maupun tanaman pertanian akan tertimpa petaka.

Ritual adat pun membebaskan tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi ternak peliharaan dan tanaman pertanian. Di Dusun Mangge, Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, jasad seorang ayah masih terbujur kaku. Di hadapan ratusan pelayat dan keluarga yang melayati jenazah, juru bicara adat mulai melitani perihal sakit hingga meninggalnya mendiang.

Masyarakat adat setempat sedang melakukan ritual poe woja latung, salah satu rangkaian dalam ritual adat kematian di Manggarai. Kepada Media Indonesia, Hironimus Jeharun, tokoh adat Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Sabtu (7/5), menuturkan juru bicara adat yang dipercayakan keluarga bertugas berbicara kepada arwah orang yang meninggal. Pembicaraan dalam bahasa adat Manggarai berisi permintaan maaf dan permintaan untuk terbebas dari pengaruh roh jahat maupun penyakit.

"Selama engkau sakit, banyak kerabat berkunjung. Keluarga sudah berupaya bawa ke rumah sakit, tetapi Tuhan berkehendak lain dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tolong doakan bagi anak, mama, dan keluarga besar. Berikan berkat, hindari dari segala penyakit, bawa semua penyakit dan kesialan ke alam baka, beri kesegaran jasmani dan rohani. Kalau ada anggota keluarga yang dipaksa hendak ikut ke alam baka, kiranya ditolak karena belum saatnya. 


Jauhkanlah pengaruh roh jahat yang menyebabkan sakit dan menderita, mohon mendiang menjadi pelindung keluarga yang ditinggalkan dan menghalau segala jenis penyakit. Jikalau ada bisikan atau perundingan roh jahat di depan gerbang kampung ini, tolong dihalau," ujar Hironimus Jeharun menjelaskan mantera yang diucapkan juru bicara adat keluarga dalam ritus poe woja lantung.

Petrus Ben, warga Desa Meler, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, menyatakan ritual adat saat kematian merupakan bentuk penghormatan dari orang-orang dekat dengan mendiang. Ritual dimaksudkan untuk memohon maaf atas khilaf kata maupun perbuatan kerabat dekat selama masa hidup mendiang. 

Ritual adat kematian juga sebagai bentuk keikhlasan keluarga melepaskan mendiang menuju alam baka. Seperti ritual adat lainnya, ritual adat kematian pada masyarakat Manggarai membutuhkan ayam dan babi kecil sebagai hewan kurban pilihan, hewan yang diyakini mampu meruntuhkan kemarahan arwah.

Arwah orang meninggal akan diberikan sesajian berupa potongan hati dan isi daging paha yang sudah dibakar dan dipotong kecil-kecil dan diletakkan di tanah. Darah ayam diteteskan ke dalam wadah bercampur air lalu diminum secara bergilir, simbol me rekatkan hubungan darah anakanak dan cucu yang tidak pernah padam oleh kematian sekalipun. Tata cara ataupun syair yang digunakan dalam ritual adat kematian pun berbeda-beda, bergantung pada cara kematian, usia, dan status perkawinan seseorang.

Ritual tokong bako
Ritual ini menjadi pembuka rangkaian ritual adat kematian di Manggarai. Ritual tokong bako dimaksudkan untuk meyakinkan arwah mendiang bahwa dia sedang dijaga sanak keluarga dan kerabat. Ritus itu juga dimaksudkan untuk menjaga kejernihan hati arwah mendiang agar tidak terpengaruh atau dirasuki roh jahat. J

ika kematian terjadi di pagi hari, ritual pembukaan dilaksanakan menjelang malam hari dipimpin juru bicara adat. Dalam ritus itu, ayam pun disembelih, dibakar, dikasih bagian atau sesajian untuk mendiang di dalam piring, sendok, dan gelas.

Ela haeng nai (sakratulmaut)
Ritus ini menggambarkan wujud kecintaan sanak keluarga dalam proses sakratulmaut bahwa seluruh anggota keluarga juga ada mendampingi anggota keluarga mereka di saat ajal datang menjemput. Ritus ini berupa penyerahan tanggungan berupa hewan babi oleh keluarga inti, anak rona (saudari perempuan dari mendiang) dan anak wina (menantu). Babi yang diberikan itu akan dimanfaatkan dalam rangkaian upacara liturgi keagamaan maupun adat selama tiga hari terhitung sejak mendiang dikuburkan.

Elha tekan tanah
Ritual ini dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan terhadap jenazah dan tanah tempat mendiang akan dimakamkan. Ritual dibuat saat penggalian dimaksudkan untuk menghindari batu penghalang, lipan, dan ular keemasan. Ada syair penting dalam ritual elha tekan tanah, yakni 'neka manga batu kepe, ngongo laang, lipang lewes'. 

Jangan ada batu kepe (batu penghalang), lipang lewes (kaki seribu), dan ngongo (ular kecil berwarna keemasan). Jika sudah dibuatkan ritual tetapi masih juga menemukan hambatan, dapat dipastikan akan ada kerabat yang ikut menyusul ke liang lahad.

Poe woja latung
Ritual poe woja latung ialah ritual untuk memohon agar arwah orang yang meninggal tidak membawa serta seluruh harta yang didapat selama hidupnya atau dalam bahasa Manggarai disebut 'neka babar pale wa, neka beba pale eta'. 

Ritual ini juga untuk memohon bantuan doa dari sang mendiang untuk kerjakerja kerabatnya yang ditinggalkan. Selain mempersembahkan sesajian berupa hati ayam dan babi, kerabat orang yang meninggal pun meminum darah ayam yang dicampur ke dalam wadah berisi air.

Saung taa atau pembebasan
Ritual saung taa ialah ritus terakhir (dilakukan pada hari ketiga terhitung sejak jenazah dimakamkan). Ritual ini sebagai simbol pembebasan dari dukacita menjadi sukacita. Ritus ini sebagai simbol tidak ada lagi ratap dan tangisan. Kesedihan selama satu minggu pun berganti, saatnya kerabat mendiang bebas bekerja lagi.

Saung taa menjadi ritual terakhir dalam rangkaian ritual adat kematian masyarakat Manggarai Tengah. Ritual ini ditandai dengan mencuci kain putih atau lulung tove lepet buing. Tikar bekas membaringkan jazad pun digulung. (M-2)

Penulis: Alexander P Taum
www.mediaindonesia.com