Minggu, 09 Oktober 2016

Kiramaik Jalan Spritual Petani Sonsang

Sonsang ialah kampung di lembah sempit bersawah luas. Di pematangnya yang kecil, Muhammad Rusdi Dt Mareko berdiri dengan gagah. Tangannya mengepak menunjukkan gerakan mengusir hama, sedangkan mulutnya terus merapal doa.

Terik matahari di penghujung Agustus itu tidak melelahkan semangat Inyiak Eko, begitu dia disapa, untuk meneruskan niat dan asa petani agar padi dijauhi hama, dan kelak mendapatkan hasil melimpah.

Saban dua bulan pascatanam padi di tiap tahunnya, petani di Jorong Sonsang menghantarkan doa, makan bersama, dengan tujuan hama berlalu, padi tumbuh berisi, dan panen yang melimpah.
Orang-orang Sonsang menamainya kiramaik, ritual meminta kepada Sang Pencipta agar padi tumbuh kembang tanpa ada gangguan.

Sonsang ialah jorong yang masuk teritorial Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, sekitar 20 kilometer dari Kota Bukittinggi.

Wali Jorong Sonsang Yul Maison menyebutkan luas total sawah di Sonsang lebih kurang 86 hektare. Sawah yang luas menjadi sumbu ekonomi warga Sonsang. Sebab itu, padi yang tumbuh di atasnya adalah segalanya bagi masyarakat Sonsang. "Sebanyak 85% dari 800 jiwa masyarakat Sonsang adalah petani," ujar Yul.

Sebagian besar petani di Sonsang menanam padi varietas kuriak kusuik. Namun, saat ini juga ada yang mulai menanam varietas putih. Bila hama ramah, dikatakan Yul, panen padi sekitar 100 belek (seperti kotak suara KPU) per hektare. Selain untuk konsumsi, padi dijual.

"Biaya sehari-hari dan sekolah anak, sebagian bersumber dari hasil penjualan padi," jelas Yul yang juga seorang petani.
Yul mengatakan, dari total luas sawah sekitar 86 hektare, hanya seperempat yang teraliri irigasi. Selebihnya berharap belas kasih pasokan air dari langit. "Sebagian sawah di sini sawah banda langik (tadah hujan)," tukas Yul.

Seret air hanya sebagian kecil nelangsa petani Sonsang. Hama juga momok karena bisa memupus asa akan hasil panen yang melimpah. Itu menjadi alasan masyarakat Sonsang menggelar kiramaik. Sejarahnya pun berakar dari malapetaka seabad yang lalu. "Kiramaik itu pusaka nenek moyang. Sudah mentradisi," ujar Yul.

Sejarah kiramaik tidak bisa dilepaskan dari Tarekat Naqsyabandiyyah. Seperti yang diutarakan Inyiak Mareko, upacara kiramaik lahir dari permintaan masyarakat Sonsang kepada seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah.

Kiramaik merupakan bahasa Minang dari kata 'keramat'. Secara definisi keramat ialah suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa).

Begitu juga dengan kiramaik di Sonsang. Menurut Inyiak Eko, kiramaik ada dalam Alquran, yakni karomah. Kiramaik itu doa, bukan sihir. Ia dimiliki wali-wali Allah, bukan nabi atau rasul yang sungguh-sungguh mengerjakan syariat-Nya dengan mujahadah yang kuat sehingga sampai pada derajat wali.

"Inna akramakum `indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang paling bertakwa di antara kalian)," jelas Inyiak Eko. Guru Tarekat Naqsyabandiyyah selalu menjadi pemegang kendali ritual sejak lahir pada 1910. Inyiak mareko ialah ahli waris pemimpin spiritual kiramaik. Dia juga mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah di Sonsang.

Berseminya komunalisme

Kiramaik dipimpin guru tarekat, tapi bukan berarti ritualnya orang-orang tasawuf. Kiramaik merupakan saluran doa-doa bagi semua orang Sonsang menyongsong hasil padi yang lebih baik.
Inyiak Eko mengatakan, dalam kiramaik, dia hanya sebagai pemimpin doa, sedangkan segala hantaran pelengkap doa tanggung jawab petani masing-masing yang memiliki sawah di Sonsang. "Kiramaik itu doa," tukasnya.

Tiap petani, sebutnya, menyediakan tujuh ragam 'obat-obatan' seperti daun kumpai, cikarau, sitawa sidingin, daun jeruk.
Sebelum menuju padang berdoa di Gurun Tangah, terlebih dahulu persyaratan tersebut telah disiapkan di rumah. Caranya, tujuh jenis ramuan tersebut dihaluskan, dicampur, lalu disiram air di dalam ember.

Kiramaik biasanya dilaksanakan pagi, saat acara berlangsung sekitar 2 jam. Dari rumah, petani mengarak ember yang telah berisi ramuan menuju ke Gurun Tangah, tempat dilangsungkannya kiramaik. Bersamaan itu pula, masyarakat juga membawa nasi lengkap dengan lauk-pauknya.

Sesampai di sawah, ember diletakkan di tengah gurun. Sekejap kemudian, mulut Inyiak Eko komat-kamit membaca doa kulimah tarekat. Bunyi doa sederhana, seperti 'Ya Allah selamatkan kami di dunia akhirat, pelihara daripada azab neraka'.

Kehadiran anak-anak dalam kiramaik sangat krusial. Doa anak-anak adalah amunisi harapan yang dihiasi ketulusan. "Jangan salah, doa anak-anak itu didengar Yang di Atas," ujar Inyiak Eko.
Menakar perubahan yang terjadi setelah kiramaik memang tidak mungkin karena itu bukan bicara statistik. Namun, dari pengakuan Inyiak Eko, ada beberapa petani melaporkan, setelah digelarnya kiramaik, padi yang diserang tikus tidak ada lagi.

Ritual tahunan kiramaik masih berjalan secara tradisional, tapi tentu tidak tertutup menjadi bagian kalender wisata Sonsang. Apalagi, kampung di lingkar Bukit Barisan itu baru saja menggelar Festival Sonsang.

Festival Sonsang yang bakal diadakan tiap tahun tentu potensi bagi kiramaik tampil di khalayak lebih ramai. Dengan begitu, nilai-nilai spiritual dalam pertanian yang terkandung dalam kiramaik lebih tersiar. (M-2)

Penulis: Yose Hendra
www.mediaindonesia.com