Minggu, 12 Juni 2016

Adat Menyambut Tamu Terhormat di Suku Kamoro

Riuh suara pukulan tifa dan teriakan suara suku Kamoro asal Papua terdengar di halaman Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), Universitas Gadjah Mada. Keriuhan itu menandakan tamu kehormatan telah tiba di tempat acara. Tampak 4 orang dari suku Kamoro menari menyambut tamu dan 2 lainnya memukul tifa. Dari 4 orang yang menari, 1 dari mereka berada di depan tamu. Sambil tetap menari, ia mengarahkan tamu terhormat dengan tongkat komando menuju
tempat acara.

“Kami menyebutnya Taware, tarian untuk menyambut tamu yang kami hormati. Di tempat kami, upacara ini diikuti hingga ribuan orang dari suku Kamoro, sangat meriah, ” kata Herman Kiripi, salah seorang dari suku Kamoro, 2 Juni. Di PKKH, tarian tersebut hanya dilakukan sekitar tujuh orang sebagai bagian memperlihatkan kekayaan seni dan budaya Papua di acara Papuan Days yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Papua Gadjah Mada (Kempgama), pada 2 dan 3 Juni.

Dengan ramah, ia dan anggota suku Kamoro yang lain menceritakan tarian penyambutan tamu tersebut. Menurut dia, tarian dan suara yang dipertunjukkan menggambarkan kegembiraan dan penghormatan atas kehadiran sang tamu. 


Dengan menggunakan pakaian adat, mereka kemudian mengarak tamu terhormat hingga tempat tujuan. Pakaian adat yang mereka kenakan ialah tauri, rok rumbai-rumbai yang terbuat dari janur sagu, dan upauta, ikat kepala yang dihiasi bulu burung kasuari atau bulu burung cenderawasih.

Untuk perempuan, mereka menggunakan paita, penutup dada yang terbuat dari pohon waru. Selain itu, mereka juga menggambari tubuh mereka dengan cat warna putih dengan berbagai motif yang diperbolehkan untuk marganya, dari motif nsang ikan, jari kepiting, hingga kulit buaya. “Gambar di tubuh ini sudah menjadi adat turun-temurun di suku kami,” kata dia. 


Setelah pada siang hari tamu terhormat disambut dengan tarian Taware, pada malam harinya, suku Kamoro akan menggelar upacara Tifa Duduk. Acara Tifa Duduk dimulai setelah matahari tenggelam hingga fajar menyingsing. “Kami akan berpesta, makan-makan, dan menari hingga pagi,” kata dia.

Makanan yang disajikan ialah aneka ragam hasil bumi yang ada di lingkungan mereka, dari sagu, ikan, kepiting, ulat sagu, hingga tambelo (serangga di pohon sagu). Acara dimulai dengan menancapkan batang janur kelapa atau janur sagu di tempat pesta. Selain makan-makan, minum-minum, dan menari, di pesta tersebut ada yang bertugas mencabuti daun janur atau sagu dari batangnya satu per satu, kemudian membakarnya sebagai penanda waktu. 


Sebisa mungkin seluruh janur itu bisa habis tepat saat fajar menyingsing. “Yang menancapkan batang janur, membakar daun janur, dan yang mencabut batang janur dikerjakan marga-marga tertentu,” kata dia. Pesta Tifa Duduk berakhir dengan dicabutnya batang janur atau sagu. Setelah itu, pada pagi harinya, seluruh anggota suku Kamoro akan berkegiatan seperti biasa.

Suku Kamoro

Suku Kamoro hanyalah 1 dari sekitar 250 suku yang ada di Pulau Papua (berdasar jumlah bahasa yang dipublikasikan Summer Institute of Language). Istilah Kamoro muncul dari seorang misionaris Belanda. Menurut Octavianus Etapoka, salah seorang suku Kamoro yang juga pengelola Yayasan Baramowe Weyaiku Kamorowe, Kamoro dalam bahasa keseharian berarti ‘kita semua orang’. Istilah suku Kamoro terbilang baru karena dalam banyak publikasi sebelumnya mereka termasuk orang Mumuika pesisir.

Mereka hidup di area seluas 250 km pesisir Selatan, antara Teluk Etna di sisi barat dan Sungai Minajerwi di bagian timur. Populasi mereka lebih dari 18 ribu jiwa dan tersebar di 40 desa. Mereka berbicara dengan bahasa Kamoro, yang memiliki enam dialek. 

Suku Kamoro memiliki kehidupan tradisi seminomaden dan tidak bisa dipisahkan dengan 3 S, yaitu sagu, sungai, dan sampan. Dari kehidupan itu, berbagai seni pun terlahir, seperti seni ukir dan gambar di tubuh. Motif ukiran dan gambar yang mereka hasilkan tidak lepas dari yang mereka temui sehari-hari, seperti insang ikan, jari kepiting, dan kulit buaya.

Dalam mengukir, kata dia, mereka tidak bisa seenaknya membuat ukiran. Tiap-tiap marga memiliki motif masing-masing yang tidak boleh dikerjakan marga lain. Selain itu, hanya keturunan laki-laki yang boleh mengukir. Adat kebiasaan di suku Kamoro dilakukan secara turun-temurun. “Kami masih tetap melestarikan adat kebiasaan kami hingga sekarang,” kata dia. Menurut dia, seni budaya Papua sangat kaya. 

Suku Kamoro hanyalah salah satunya. Untuk memperkenalkan seni-budaya suku Kamoro kepada masyarakat yang lebih luas, sering kali ia pergi keluar Papua untuk menggelar pentas seni dan pameran seni budaya suku Kamoro, termasuk di UGM dalam Papua Days.

Suku Kamoro merupakan salah satu suku yang berada dekat dengan daerah kerja PT Freeport Indonesia. Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengungkapkan, pihaknya mendukung berbagai hal terkait dengan pelestarian seni budaya yang ada di Papua, termasuk suku Kamoro. 

Suku Kamoro sengaja diajak ke Yogya untuk memperkenalkan seni dan budaya mereka secara lebih dekat ke masyarakat Yogya dan sekitarnya serta pelajar dan mahasiswa yang ada. Menurutnya, Papua merupakan daerah yang memiliki ragam budaya yang kaya dan unik. “Komitmen tinggi dari kami dalam mendukung seni dan budaya Papua agar lebih dikenal secara luas,” pungkas dia. Suku Kamoro hanyalah satu dari sekian banyak khazanah seni dan budaya Indonesia yang ada dan terus dilestarikan. (M-2)


Penulis: Ardi Teristi Hardi
www.mediaindonesia.com