Minggu, 24 Juli 2016

Menelusuri Jejak Siti Hinggil Blambangan

Srolah berbagi ruang, berdesakan, saling mendampingi antara yang dulu dan yang baru, gapura itu berdiri kukuh. Bentuk kuno gapura itu khas layaknya bentuk yang sering didapati pada bentuk gapura candi. Gapura berbahan batu bata merah berdiri berimpit dengan bangunan modern yang berada di kedua sisinya. Samping kanan dan kiri tidak ditemukan pembatas ruang kosong. Sebab langsung bertemu dengan bangunan lain yang digunakan penduduk sekitar sebagai kantor dusun. 

Beberapa bangunan di sekitarnya berfungsi sebagai toko dan rumah. Di tengah gapura, ada dua daun pintu yang terbuat dari teralis besi. Tidak begitu lebar jarak antarbesi sehingga ketika pintu ditutup masih didapati pandang tentang yang ada di balik teralis. Di samping pintu teralis, dua pintu berdiri papan nama bertulis ‘Situs Siti Hinggil Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar’. Maklumlah, Situs Siti Hinggil ini berada di sekitar kawasan jual beli. Ia berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Kurang lebih 50 meter dari pertigaan tersebut. Situs Siti Hinggil berada di pesisir pantai dan berdekatan dengan Pelabuhan Muncar. lebih kurang 400 meter arah utara dari Tempat Pelelangan Ikan.

Lepas dari pintu teralis, ada tangga bertingkat yang terbuat dari batu. Tidak begitu lebar memang, tapi cukup untuk dilewati dua orang berjalan berdampingan. Semakin ke atas sampai pada dataran yang lebih luas. Cukup luas sampai ada semacam saung yang bisa digunakan untuk duduk setelah lelah menapaki tangga. 

Ketika kita mendengar kata Banyuwangi, tentu masih lekat dalam ingatan tentang suku Osing, Pantai Lengkung, Hutan Alas Purwo, dan Kerajaan Blambangan. Jika yang sebelumnya masih bisa didapati sekarang ini, bagaimana dengan Kerajaan Blambangan? Tentu sudah tidak ada lagi. Namun, peninggalannya masih dapat ditemui meski sangat sedikit. Salah satunya Situs Siti Hinggil.

Siti Hinggil atau Setinggil dalam sebutan masyarakat setempat berasal dari kata siti yang berarti tanah dan hinggil/inggil berarti tinggi. Ya benar saja, ketika naik ke puncak Siti Hinggil, pemandangan lautan lepas dengan kapal-kapal nelayan terlihat cukup jelas meskipun sedikit terhalangi oleh bangunan rumah susun yang padat di sekitarnya. Juga tampak jelas pemandangan Pelabuhan Muncar. 

Ramainya ratusan kapal didominasi warna hijau, kuning, dan merah. Kapal nelayan itu tengah bersandar di kolam labuh selepas melaut menangkap ikan. Itulah mengapa dinamakan Siti Hinggil, sebab objek ini memang paling tinggi daripada tempat sekitar. “Siti Hinggil itu berada di ketinggian 61 dari permukaan laut (dpl),” terang terang Slamet Ari Wibowo, juru kunci yang sekaligus menjadi kamituwo (kepala dusun) di Dusun Muncar.

Siti Hinggil merupakan salah satu situs peninggalan Kerajaan Blambangan yang berupa daratan tinggi yang digunakan sebagai pos pengintai musuh sekaligus lalu lintas transportasi laut. Letak Siti Hinggil dinilai sangat strategis dan digunakan sebagai pos pengawasan pada masa Kerajaan Blambangan, untuk mengawasi lalu lintas transportasi laut di sekitar Teluk Pang-Pang (laut yang menjorok ke daratan dari Muncar) hingga ke arah Selatan Semenanjung Blambangan. 

Menurut cerita, telapak kaki itu ialah tempat berdiri Prabu Bhre Wirabhumi untuk memantau segala kegiatan yang ada di Blambangan. Siti Hinggil dulunya merupakan pos pemantauan Kerajaan Blambangan. Saat itu kerajaan tersebut di­pimpin Bhre Wirabhumi yang bergelar Prabu Minakjinggo pada pertengahan abad ke-13. “Siti Hinggil itu memang bekas telapak kakinya Bhre Wirabhumi. Ia anak Raja Majapahit dari istri selir. Beliau menjabat sebagai raja Blambangan dulu pada abad ke-13,” lanjut Slamer. Jejak-jejak peninggalan pasukan yang dipimpin Prabu Minakjinggo di lokasi tersebut yang ada hanyalah telapak kaki di atas bebatuan yang hampir hancur dimakan zaman.

Mengawasi kapal
Dari tempat tersebut terlihat jelas selat Bali dan Tanjung Sembulung. Tempat tersebut juga merupakan tempat pengintaian kapal-kapal yang melewati Selat Bali. Pada pertengahan abad ke-13 pun, masyarakat sering menggunakan transportasi laut sebagai alat penghubung satu daerah ke daerah lainnya sehingga Prabu Minakjinggo menempatkan pasukannya untuk berjaga-jaga di pos Siti Hinggil tersebut. 

Keterangan fungsi Siti Hinggil ini juga diperkuat dengan keterangan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana. Ia mengatakan bahwa situs tersebut memang untuk memantau kapal-kapal yang mendarat ke bumi Blambang­an, atau sebaliknya, untuk mengawasi kapal yang meninggalkan Blambangan.

“Memang itu dibikin untuk mengawasi kapal, untuk mengintai pasukan musuh yang datang dari selat Bali,” terang sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana.
“Jadi sebelum masa VOC datang, itu dipakai prajurit Blambangan untuk melihat kalau ada kapal-kapal yang akan mendarat ke Blambangan,” imbuh dosen yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Leiden Belanda itu. 

Hasil disertasinya lalu diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan, 1763-1813. Fungsi itu juga masih berlaku ketika Belanda datang. Dulunya, tempat ini dipakai VOC untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan. Pelabuhan Muncar menjadi jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 di Blambangan. 

Ketika 1771-1773 itu ada perang besar. Belanda menduduki wilayah pesisir. Belanda menjaga banyak tempat, terutama di pesisir, karena diduga banyak bantuan dari pemberontak melawan VOC datang dari Bali. “Pelabuhan Muncar itu dulu namanya Lopampang atau Pelabuhan Ulu Pampang. Jadi kalau pasukan VOC kalau mendarat ke situ,” imbuhnya. 

Sampai sekarang, Pelabuhan Muncar tetap padat karena menjadi tempat bergantung 13 ribu nelayan mencari ikan dengan 1.700-an kapal. Hasil tangkapan nelayan dalam setahun rata-rata mencapai 30 ribu ton ikan yang menjadikan Muncar sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia. Sampai sekarang pula, Siti Hinggil tetap menjadi rujukan wisata bagi masyarakat sekitar, entah itu untuk wisata alam, maupun wisata religi. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com