Dayang Ayu - Dideng Dang Ayu

Legenda Daerah Sumatra Barat

Lutung Kasarung dan Purbasari

Legenda Daerah Jawa Barat

Sangkuriang

Legenda Daerah Jawa Barat

Bawang Merah dan Bawang Putih

Legenda Rakyat Jawa Barat

Tarian Klasik Keraton Jawa

Legenda Daerah Jawa Tengah

Minggu, 31 Juli 2016

Kendi, sang Penanda Peradaban

Bentuknya sederhana pada awal kemunculannya. Namun, seiring waktu berjalan, ia pun berubah. Ia tidak lagi seperti dulu. Ia mengikuti alur pikir manusia yang senantiasa berkembang. Bahkan saat ini, ia telah mengalami perluasan fungsi. Dari hanya tempat menyimpan air minum, ia menjelma menjadi penanda peradaban. Kendi tegar berdiri menapak pada alasnya yang datar, seperti ia menapak pada tiap masa peradaban, menjadi penanda dari proses perubahan, dan perkembangan pemikiran manusia.

Bermula dari rasa haus dan hasrat mereguk air esensi dari kehidupan, setangkup telapak tangan tak cukup menadah air pelepas dahaga itu. Lalu muncullah kendi. Awal kemunculannya hanya punya satu lubang. Tempat masuk dan keluar tidak dibedakan. Sungguh seserhana. 


Namun, siapa sangka bentuk sederhana itu nyatanya punya andil besar. Berdasarkan catatan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kendi Nusantara menunjukkan begitu bervariasi rupa dan ragamnya. Kapan sebenarnya kendi mulai dikenal di Nusantara? Dalam catatan penemuan arkeologis, sejak 4.000 tahun lalu barang tanah liat poles warna merah mulai digunakan penduduk Kepulauan Nusantara.

Mewakili era itu ialah Situs di Leang Tuwo Manee, Maluku Utara. Pada zaman itu, koloni Austronesia mulai menghuni kepulauan. Mereka mulai hidup menetap, menjinakkan binatang, serta bertani bijian dan umbi. Kendatipun barang tembikar sudah dibuat, bentuk kendi tanah liat belum dikenal. Mereka baru menggunakannya untuk pengolahan makanan, seperti periuk dan tutupnya.

Seri penemuan kendi juga mulai muncul ketika perkakas logam mulai dikenal. Masa menjelang sejarah ditulis. Beberapa penemuan itu antara lain di Kerici, yaitu ditemukan kendi berbentuk botol yang dipoles warna merah dan dihias gores geometris pada lehernya yang pendek. 

Di Pantai Utara Jawa, kendi juga ditemukan di Buni yang berlokasi antara Bekasi dan Karawang. Ciri kendinya tanpa cerat leher tinggi bergelang, badannya kerucut terpotong; bentuk lain leher pendek, serta bentuk kepala setangkup kerucut dihiasi panil bergores berisi titik-titik dan binatang.

Kendi juga ditemukan di Situs Gilimanuk, Bali. Kendi itu difungsikan sebagai bekal kubur dengan bentuk tanpa cerat dan leher serupa kendi Buni. Badannya setengah bulat, dasar cembung. Berdasarkan penanggalan situs penemuan, kendi-kendi itu diperkirakan berasal dari abad pertama sampai 200 Masehi.

Kendi masa prasejarah
Ia punya badan cembung dengan tinggi menyudut di bagian tengah (proses sambungan). Badannya juga mengecil ke ujung, tanpa corot. Kendi ini ditemukan di Rengasdengklok dan diperkirakan dari abad ke-1. Masih dari Rengasdengklok, juga ditemukan kendi masa prasejarah abad ke-1. Kendi ini punya badan silindris mengecil ke bagian atas. Dasarnya datar. Lehernya tinggi menyudut di bagian tengah hasil dari proses persambungan. Badannya dihias dengan garis-garis geometris.

Juga ditemukan kendi tembikar masa prasejarah di Liang Bua, Flores Barat. Kendi ini diperkirakan dari abad ke-1. Badannya bulat seperti disambung di bagian tengah hingga bersudut. Bagian bawah sedikit cembung. Leher tinggi dan sedikit menggelembung di bagian tengahnya. Ujung tepian tegak yang digunakan untuk memasukkan air dan mengeluarkan air. Permukaan halus dan mengilap hasil proses upam.

Berlanjut pada penemuan kendi pada masa kerajaan Majapahit, terdapat beberapa kendi yang ditemukan di Trowulan. Diperkirakan kendi-kendi itu berasal dari abad ke-12-13-an. Pertama, kendi berwarna krem, bentuk seperti labu badan berganda. Corotnya melengkung dengan cincin diujungnya. Kendi ini dibuat dari bahan glasir hematit merah. Ia punya leher pendek dan ujung mulut melebar ke samping seperti payung.

Kedua, kendi Majapahit berbahan tembikar putih. Badannya cembung hampir membulat. Lehernya panjang mengecil ke atas dan bagian tengah bercincin. Ujung mulut tepian melebar seperti payung. Corot panjang lurus mengecil ke ujung. 

Ketiga, kendi Majapahit berwarna kemerahan. Badan cembung. Le­hernya pendek. Ia punya gelang antara badan dan leher. Bagian tengah leher juga bergelang melebar seperti payung. Tepiannya tegak. Corotnya cembung mengerucut pendek, bergelang di bagian ujung, dan mengecil. 

Keempat, kendi susu warna merah. Permukaannya halus hasil dari proses upam. Badannya cembung membulat dengan hiasan garis-garis vertikal timbul. Lehernya panjang bercincin antara badan dan leher. Ujung leher melebar seperti tutup yang telungkup, tepian tegak.

“Kendi berkembang mengikuti geliat zaman,” begitu menurut Sony C Wibisono dalam pameran berjudul Kendi Kundi Kuno Kini pada Juni lalu. Artinya, kendi tak semata wadah fungsional, makna sosial budaya juga disematkan pemakainya. Kendi akan berkembang mengikuti perubahan pemikiran masyarakat pada masanya. 

Bentuknya memang sederhana pada awal kemunculannya. Namun, seiring waktu berjalan, ia pun berubah. Ia tidak lagi seperti dulu. Ia mengikuti alur pikir manusia yang senantiasa berkembang. Bahkan saat ini, ia telah mengalami perluasan fungsi. Ia dulu hanya tempat me­nyimpan air minum. Namun saat ini, beberapa sengaja diciptakan untuk memenuhi hasrat estetik pembuatnya. Kendi telah menjelma menjadi penanda peradaban. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 24 Juli 2016

Menelusuri Jejak Siti Hinggil Blambangan

Srolah berbagi ruang, berdesakan, saling mendampingi antara yang dulu dan yang baru, gapura itu berdiri kukuh. Bentuk kuno gapura itu khas layaknya bentuk yang sering didapati pada bentuk gapura candi. Gapura berbahan batu bata merah berdiri berimpit dengan bangunan modern yang berada di kedua sisinya. Samping kanan dan kiri tidak ditemukan pembatas ruang kosong. Sebab langsung bertemu dengan bangunan lain yang digunakan penduduk sekitar sebagai kantor dusun. 

Beberapa bangunan di sekitarnya berfungsi sebagai toko dan rumah. Di tengah gapura, ada dua daun pintu yang terbuat dari teralis besi. Tidak begitu lebar jarak antarbesi sehingga ketika pintu ditutup masih didapati pandang tentang yang ada di balik teralis. Di samping pintu teralis, dua pintu berdiri papan nama bertulis ‘Situs Siti Hinggil Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar’. Maklumlah, Situs Siti Hinggil ini berada di sekitar kawasan jual beli. Ia berada di sebelah timur pertigaan Pasar Muncar. Kurang lebih 50 meter dari pertigaan tersebut. Situs Siti Hinggil berada di pesisir pantai dan berdekatan dengan Pelabuhan Muncar. lebih kurang 400 meter arah utara dari Tempat Pelelangan Ikan.

Lepas dari pintu teralis, ada tangga bertingkat yang terbuat dari batu. Tidak begitu lebar memang, tapi cukup untuk dilewati dua orang berjalan berdampingan. Semakin ke atas sampai pada dataran yang lebih luas. Cukup luas sampai ada semacam saung yang bisa digunakan untuk duduk setelah lelah menapaki tangga. 

Ketika kita mendengar kata Banyuwangi, tentu masih lekat dalam ingatan tentang suku Osing, Pantai Lengkung, Hutan Alas Purwo, dan Kerajaan Blambangan. Jika yang sebelumnya masih bisa didapati sekarang ini, bagaimana dengan Kerajaan Blambangan? Tentu sudah tidak ada lagi. Namun, peninggalannya masih dapat ditemui meski sangat sedikit. Salah satunya Situs Siti Hinggil.

Siti Hinggil atau Setinggil dalam sebutan masyarakat setempat berasal dari kata siti yang berarti tanah dan hinggil/inggil berarti tinggi. Ya benar saja, ketika naik ke puncak Siti Hinggil, pemandangan lautan lepas dengan kapal-kapal nelayan terlihat cukup jelas meskipun sedikit terhalangi oleh bangunan rumah susun yang padat di sekitarnya. Juga tampak jelas pemandangan Pelabuhan Muncar. 

Ramainya ratusan kapal didominasi warna hijau, kuning, dan merah. Kapal nelayan itu tengah bersandar di kolam labuh selepas melaut menangkap ikan. Itulah mengapa dinamakan Siti Hinggil, sebab objek ini memang paling tinggi daripada tempat sekitar. “Siti Hinggil itu berada di ketinggian 61 dari permukaan laut (dpl),” terang terang Slamet Ari Wibowo, juru kunci yang sekaligus menjadi kamituwo (kepala dusun) di Dusun Muncar.

Siti Hinggil merupakan salah satu situs peninggalan Kerajaan Blambangan yang berupa daratan tinggi yang digunakan sebagai pos pengintai musuh sekaligus lalu lintas transportasi laut. Letak Siti Hinggil dinilai sangat strategis dan digunakan sebagai pos pengawasan pada masa Kerajaan Blambangan, untuk mengawasi lalu lintas transportasi laut di sekitar Teluk Pang-Pang (laut yang menjorok ke daratan dari Muncar) hingga ke arah Selatan Semenanjung Blambangan. 

Menurut cerita, telapak kaki itu ialah tempat berdiri Prabu Bhre Wirabhumi untuk memantau segala kegiatan yang ada di Blambangan. Siti Hinggil dulunya merupakan pos pemantauan Kerajaan Blambangan. Saat itu kerajaan tersebut di­pimpin Bhre Wirabhumi yang bergelar Prabu Minakjinggo pada pertengahan abad ke-13. “Siti Hinggil itu memang bekas telapak kakinya Bhre Wirabhumi. Ia anak Raja Majapahit dari istri selir. Beliau menjabat sebagai raja Blambangan dulu pada abad ke-13,” lanjut Slamer. Jejak-jejak peninggalan pasukan yang dipimpin Prabu Minakjinggo di lokasi tersebut yang ada hanyalah telapak kaki di atas bebatuan yang hampir hancur dimakan zaman.

Mengawasi kapal
Dari tempat tersebut terlihat jelas selat Bali dan Tanjung Sembulung. Tempat tersebut juga merupakan tempat pengintaian kapal-kapal yang melewati Selat Bali. Pada pertengahan abad ke-13 pun, masyarakat sering menggunakan transportasi laut sebagai alat penghubung satu daerah ke daerah lainnya sehingga Prabu Minakjinggo menempatkan pasukannya untuk berjaga-jaga di pos Siti Hinggil tersebut. 

Keterangan fungsi Siti Hinggil ini juga diperkuat dengan keterangan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana. Ia mengatakan bahwa situs tersebut memang untuk memantau kapal-kapal yang mendarat ke bumi Blambang­an, atau sebaliknya, untuk mengawasi kapal yang meninggalkan Blambangan.

“Memang itu dibikin untuk mengawasi kapal, untuk mengintai pasukan musuh yang datang dari selat Bali,” terang sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana.
“Jadi sebelum masa VOC datang, itu dipakai prajurit Blambangan untuk melihat kalau ada kapal-kapal yang akan mendarat ke Blambangan,” imbuh dosen yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Leiden Belanda itu. 

Hasil disertasinya lalu diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan, 1763-1813. Fungsi itu juga masih berlaku ketika Belanda datang. Dulunya, tempat ini dipakai VOC untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan penyerangan. Pelabuhan Muncar menjadi jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada abad ke-17 di Blambangan. 

Ketika 1771-1773 itu ada perang besar. Belanda menduduki wilayah pesisir. Belanda menjaga banyak tempat, terutama di pesisir, karena diduga banyak bantuan dari pemberontak melawan VOC datang dari Bali. “Pelabuhan Muncar itu dulu namanya Lopampang atau Pelabuhan Ulu Pampang. Jadi kalau pasukan VOC kalau mendarat ke situ,” imbuhnya. 

Sampai sekarang, Pelabuhan Muncar tetap padat karena menjadi tempat bergantung 13 ribu nelayan mencari ikan dengan 1.700-an kapal. Hasil tangkapan nelayan dalam setahun rata-rata mencapai 30 ribu ton ikan yang menjadikan Muncar sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia. Sampai sekarang pula, Siti Hinggil tetap menjadi rujukan wisata bagi masyarakat sekitar, entah itu untuk wisata alam, maupun wisata religi. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 10 Juli 2016

Membuka Pagar Magis saat Menerima Tamu

Hentakan musik mengiringi kegesit­an dua sesepuh kampung beradu jurus. Rentak kaki dan kecepatan tangan silih berganti mereka peragakan. Akan tetapi, tidak ada kontak fisik dalam jual beli pukulan itu. Bentangan bambu berbungkus kertas berwarna-warni di tengah arena membatasi gerak dua ‘jagoan kampung’ tersebut untuk saling serang. 

Atraksi pencak silat tangan kosong ini disuguhkan dalam tradisi penyambutan tamu di komunitas adat Dayak Limbai di Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Tradisi ini dikenal dengan potong ompong. Ompong ialah sebutan untuk sebilah bambu yang melintang di lokasi penyambutan tamu.

Tidak lama berselang, lima gadis berpakai­an adat tampil di arena penyambutan untuk giliran beratraksi. Dengan anggun dan menggemulai, mereka mempersembahkan tarian sebagai ucapan selamat datang. Beberapa perempuan separuh baya pun menghampiri tetamu saat tarian berlangsung. 


Mereka menyuguhkan arak dan tuak yang dibawa dengan nampan. Setelah menikmati tarian dan suguhan arak serta tuak, tetamu dipersilakan berdiri di depan ompong. Lelaku ritual pun dimulai. Tetua adat yang berhadapan dengan tetamu di seberang ompong kemudian merapalkan mantra. Ritual dilengkapi sesajian berupa gum­palan tanah, sebutir telur ayam, dan beras kuning sebagai simbolisasi Tanah Air dan keberkatan. Pemimpin rombongan tamu harus menginjak gumpalan tanah, dan memecahkan telur ayam dengan cara serupa sebagai bentuk penghormatan dan keabsahan acara.

Sembari terus melafalkan mantra, tetua adat mempersembahkan seekor ayam hitam untuk disembelih salah seorang atau pemimpin rombongan tamu. Darah hasil sembelihan kemudian dipercikkan ke beras kuning berwadah empat mangkuk plastik. Pemimpin rombongan juga diminta memotong seekor babi dengan menombak bagian leher hewan tersebut untuk melengkapi persembahan. “Kalau ada kunjungan tamu atau masalah adat, saya harus turun ke lapangan langsung padahal usia sudah lanjut,” kata Ariah, 76, wakil temenggung yang menjadi salah seorang pesilat pada potong ompong, beberapa waktu lalu.

Membuka pagar
Prosesi potong ompong dilanjutkan dengan pemasangan gelang oleh tetua adat kepada seluruh tamu. Gelang yang telah diritualkan ini dianyam dari akar pohon tengang dengan berhiaskan satu atau beberapa manik-manik. Gelang perlambang ikatan persahabatan itu dianggap bertuah sehingga pantang dilepas pemakai­nya. “Biarkan sampai terputus sendiri. Kalau dibuka (dilepas), bisa lemah semangat,” kata tokoh masyarakat Dayak Limbai, Bahen. 

Tuak kembali disuguhkan kepada pemimpin rombongan sebelum berlanjut ke acara puncak, yakni pemotongan ompong. Minuman tradisional tersebut kali ini disuguhkan dalam bekas paruh dan tanduk enggang. Pemimpin rombongan bisa meneguk sendiri atau berbagi dengan koleganya. Suguhan ini sebagai penghormatan warga kepada tetamu.

Pemotongan ompong harus dilakukan dalam sekali tebasan mandau. Warga bersama tetamu pun serempak memberikan aba-aba hingga hitungan ketujuh untuk menyemangati saat pemotong ompong mulai mengayun-ayunkan mandau. Begitu pula ketika ompong dapat ditebas, sorak-sorai juga bergemuruh sebagai luapan kegembiraan. Seorang warga kemudian mengalungkan rangkaian bunga ke pemimpin rombongan sebagai ucapan selamat. Rombongan pun selanjutnya menghampiri warga yang berbaris rapi di pingir lokasi acara. Mereka membalas ucapan selamat dengan bersalaman.

Tradisi potong ompong menandai bahwa rombongan telah sah dan diperkenankan memasuki wilayah komunitas adat di Desa Belaban Ella tersebut. Menurut Bahen, ompong menjadi semacam pagar untuk orang yang baru pertama kali masuk ke perkampungan mereka. “Sebelum masuk (ke perkampungan) harus memotong ompong dahulu sebagai syarat agar tidak kerasukan atau terhindar dari pengaruh-pengaruh kayak gitu,” jelas Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Belaban Ella ini.

Memelihara tradisi
Seusai potong ompong, pemuka adat dan sejumlah warga kemudian mengantar rombongan ke lokasi tujuan atau tempat beristirahat. Aneka penganan tradisional pun disuguhkan kepada tetamu. Ada kue lulun yang terbuat dari tepung beras dan kelapa. Ada juga rompo yang terbuat dari tepung ketan digoreng, hingga kembang goyang dan rengginang. “Ini semua kue kampung, dan harus dicoba (dicicipi). Kalau tidak, bisa kampunan (pamali),” kata seorang warga Orpa.

Potong ompong juga digelar warga saat pernikahan adat. Rombongan mempelai lelaki wajib menjalani ritual potong ompong sebelum memasuki lokasi acara. Selain bambu, ompong juga bisa terbuat dari kayu, tebu, batang pisang, atau seutas tali. Potong ompong hanya satu di antara beragam tradisi yang masih dipegang teguh oleh komunitas adat Dayak Limbai di perkampungan Sungkup. Di waktu yang sama mereka juga tengah bersiap menggelar mopat daun padi. Mopat daun padi ialah ritual untuk menyuburkan padi, yang dimulai sekitar pukul 02.00 WIB.

Seusai ritual yang berlangsung hingga menjelang matahari terbit itu, warga pun harus menghadiri monik anak. Monik anak atau pogowai mandi anak ialah tradisi memandikan balita berusia tujuh bulan hingga setahun di sungai. Saat itu ada dua balita yang bakal menjalani selamatan tersebut. Tradisi dan ritual juga diterapkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hasil hutan, misalnya, hanya boleh diambil secukupnya untuk kebutuhan keluarga. Itu pun tidak boleh sampai merusak lingkungan. 

Sementara itu, lokasi perladangan ditetapkan berdasarkan petunjuk spritual, mencermati perilaku satwa, fenomena alam, dan letak lahan. Semua ketentuan itu diatur dalam hukum adat yang diberlakukan secara ketat, dan ada sanksi bagi pelanggar. Hutan di perkampungan Sungkup pun tetap menghijau karena warga menjaganya dengan menerapkan kearifan lokal. (M-2)

Penulis: Aries Munandar
www.mediaindonesia.com

Mengenal Filosofi Batik Rifa’iyah

Sepintas, tidak tampak ada perbedaan dengan Batik Rifa’iyah. Kain itu mirip dengan batik pesisir lain yang berasal dari Pekalongan, Brebes, Tegal, dan Indramayu.

Beberapa motif, pola, dan warna bahkan punya kemiripan dengan batik pesisir yang banyak di penga­ruhi kebudayaan dari luar, misalnya Tiongkok, Belanda, dan Arab.

Namun, jika diperhatikan lebih lanjut, ada yang unik dengan batik Rifa’iyah. Motif yang berhubung­an dengan benda bernyawa tidak digambarkan sesuai persis sama aslinya. Misalnya, dengan hanya menggambarkan sayapnya atau membuat guratan di lehernya sehingga mengesankan gambar hewan yang sudah disembelih.

Bukan rahasia lagi, bahwa satu dari sekian budaya warisan Indonesia yang sudah diakui UNESCO ialah batik. Seni membatik punya peran penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Karena itu, seni ini merupakan identitas sekaligus penguat karakter bangsa.

Lebih dari itu, batik ternyata juga menjadi media dakwah bagi para ulama di Indonesia. Perkembangan batik yang banyak terjadi di daerah santri membuat pengaruh Islam turut mewarnai perkembangan batik. Tak mengherankan jika batik merupakan media perjuangan sekaligus menjadi media dakwah.

Batik Rifa’iyah, begitu kain itu disebut, ialah salah satu motif yang menjadi kekhasan dari komunitas Rifa’iyah di Batang, Jawa Tengah. Sebutan Rifa’iyah diambil dari seorang tokoh agama bernama KH Ahmad Rifai. Sebagaimana disarikan dari buku Rembug Batik karya Budi Mulyawan dkk.

Ahmad Rifai berdakwah sekitar 1835 dan menulis buku sebanyak 67 judul dalam jangka 21 tahun. Ada yang 1 judul memuat 4 buku lebih. Dari jumlah tersebut, baru 64 yang ditemukan, sedangkan sekitar tiga karangannya tersisa di Amsterdam.

Ahmad Rifai dikabarkan dari Yogyakarta. Dahulu ia lahir di Kendal. Bapaknya bernama Maroko. Ia juga sempat diasingkan dari Kaliwungu Kendal ke Kalisalak-Batang. Konon, beliau satu zaman dengan KH Muhammad Cholil Bangkalan (Mbah Cholil) yang juga pernah menjadi buruh membatik di Kebon Candi, Pasuruan, dan sezaman pula dengan Syekh Nawawi Bantan (Banten).

Ahmad Rifai banyak melakukan penerjemahan bahasa Arab ke Jawa agar menyesuaikan budaya lokal, termasuk melakukan semacam distorsi motif pada batik. Gambar hewan diubah agar tidak terlihat seperti makhluk hidup. Prinsip ini meluas hampir di semua batik pantura.

Ajarannya kemudian melahirkan komunitas Rifaiyyah di Kalisalak, Batang. Rifa’iyah ialah lembaga atau ormas yang ada sekitar 1876. Komunitas Rifa’iyah membuat batik dengan konsep tiga negeri yang sebenarnya bermakna tiga hal, yakni tauhid, tasawwuf,dan ushulfiqih.

Itulah mengapa bagi komunitas Rifa’iyah, membatik merupakan pengamalan syariah dan dakwah. Bagaimana membentuk komunitas dakwah. Begitu yang ditulis dalam buku Rembug Batik.

Batik Rifa’iyah mendapat pe­ngaruh kuat Islam, yang ditampilkan dalam motif dan coraknya. Meski demikian, Batik Rifa’iyah mempunyai nilai karya seni yang luar biasa. Batik Rifa’iyah dibuat dalam bentuk kain panjang, sarung, maupun selendang yang difungsikan sebagai penutup aurat.

Kepala terpenggal

Ahmad Rifai mengajarkan bahwa menggambar hewan (sebagaimana batik Belanda) termasuk perbuatan mungkar. Ada sekitar 17 motif yang orisinal dari Rifaiyyah pada sekitar 1958—1959. Namun, yang dominan dipakai hanya ada empat motif. Salah satunya ialah motif pelo ati.

Secara umum, ragam hias pelo ati menggambarkan dua motif ayam dengan kepala terpenggal. Pada bagian tubuhnya menunjukkan ragam hias menyerupai bentuk hati, dan pada motif ayam lainnya terdapat pelo. Pelo Ati digambarkan dengan motif-motif bunga dan dedaunan. Ragam hias pelo ati memiliki pemaknaan dakwah terhadap ajaran Ahmad Rifai mengenai ilmu tasawuf.

Pada ragam hias batik pelo ati juga terdapat gambar ampela burung yang digambarkan berada di luar tubuh burung. Ampela ialah tempatnya kotoran dan harus dibuang. Ambaran ampela mengibaratkan sifat-sifat buruk manusia yang harus dibuang.

Bagi komunitas rifa’iyah, membatik bukanlah kegiatan yang asing. Mereka telah melakoni aktivitas membatik sejak kecil, terutama bagi kaum wanita. Sewaktu mereka beranjak dewasa atau saat menunggu dipinang, para wanita ini membuat batik yang paling bagus dari sekian karya batik yang mereka pernah buat. Hasilnya, akan dikenakan bersama dengan mempelai pria pada acara pernikahan.

Selain karya seni, batik Rifa’iyah ialah salah satu bukti dari perjuang­an dan perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam buku Rembug Batik karya Budi Mulyawan, dkk, diungkap bahwa KH Ahmad Rifai mengharamkan batik Belanda pada saat itu. Ahmad Rifai menolak batik Belanda sebab menganggap penjajahan Belanda bukan cuma luar ataupun busana, melainkan juga sampai wilayah dalam atau keimanan. Sampai kemudian beliau diasingkan karena berbahaya untuk para penjajah.

Beliau sangat keras mewanti-wanti agar orang-orang tidak menjadi antek-antek Belanda. Dalam kitabnya, beliau mengatakan, luwih becik nandur telo tinimbong melu wong olo (lebih baik menanam ketela (mandiri) daripada menghamba pada orang yang buruk. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 03 Juli 2016

Mengenal Pesta Adat Uman Undrat

Pagi itu, jalanan masih agak basah. Sepanjang jalan yang telah diperkeras dengan batako ataupun beton masih didapati kubangan air. Terlebih bahu jalan yang tidak diperkeras, becek. Rupanya hujan semalam masih menyisakan sedikit kuasa basahnya. Tidak seperti biasa. Hari itu (21/5), banyak orang terlihat lebih sibuk. Mereka berlalu lalang di jalanan desa. Beberapa di antara mereka tidak mengenakan busana sehari-hari, tetapi mengenakan pakaian adat. 

Terlihat beberapa laki-laki mengenakan sapei sapaq, lengkap dengan mandau, sedangkan para wanita memakai ta’a. Banyak juga warga yang berkumpul di muka bangunan kayu persegi panjang, tepat di sekitaran papan yang bertulis Lamin Adat Dayak Kenyah Desa Budaya Lung Anai Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, provinsi Kalimantan Timur. 

Dinding bagian luar lamin adat dibalur rupa garis yang memanjang dari ujung ke ujung, sedangkan bagian dalam ruang juga menampak gambaran yang sama. Banyak garis lengkung menjulur dan menyambung satu sama lain seperti tali yang menyatukan dan menjalin tiap bagian. Rupanya bagian dalam bangunan itu cukup luas, sekitar 12 x 25 meter. Cukup untuk menampung seratusan kursi yang ditata agak berdekatan. Bagian tengah ruangan itu dibiarkan kosong.

Mereka bukan berkumpul untuk sekadar nongkrong, melainkan hendak merayakan Uman Undrat (pesta panen). Pesta adat panen raya suku Kenyah itu dilakukan setiap tahun setelah lepa atau (sesudah panen padi) pada Mei atau Juni. Tujuannya, sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Kenyah kepada Tuhan atas berkat dan rahmat yang diberikan berupa hasil panen padi. 

Pesta adat itu diawali dengan penyembelihan babi. Babi terbaik yang diperoleh dari pemburuan beberapa hari sebelumnya dikorbankan sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah. Babi diangkat dan kepalanya dipancakkan pada dua galah bersilang. Kepala Adat Lung Anai Ismail Lahang kemudian menyembelih babi tersebut sambil membaca doa-doa. Dahulu, darah babi tersebut kemudian dipercikkan ke tanah. Darah babi dipersembahkan kepada para Bali (roh) yang dipercaya masyarakat Kenyah sudah berjasa memberikan perlin­dungan dan tanah yang subur bagi mereka untuk berladang.

Pemotongan babi sekaligus menandai dimulainya acara. Setelah prosesi potong babi, sebagian orang yang hadir beralih ke dalam lamin adat. Sebagian lagi menggotong lesung ke dalam lamin. Beramai mereka mengangkat lesung panjang dari kayu bulat utuh. Prosesi ini ialah simbol kebersamaan dan kegotongroyongan. 

Puncak acara dari panen raya ini ialah prosesi Mecaq Undat. Mecaq Undat mengandung arti menumbuk dengan alu supaya beras menjadi halus. Setelah diletakkan di tengah ruang lamin, lesung kemudian diisi beras. Para wanita bersiap memukul lesung. Selang beberapa lama, semua yang hadir pun dipersilakan berturut dalam Mecaq Undrat.

Meko Undat
Setelah beras tadi di tumbuk, selanjutnya ialah Meko Undat. Proses ini dimaksudkan untuk mengayak beras dan memisahkan beras halus dan beras kasar. Betapa pun tumbukan beras, tetap saja akan ada beras yang luput dari tumbukan. Proses mengayak menggunakan alat ayakan tradisional suku Dayak yang terbuat dari bahan bamboudan rotan. Mengayak atau ngulek dalam bahasa Kenyah ialah hal sakral. Tidak bisa dilakukan sembarangan sebab hanya boleh dilakukan para wanita yang dituakan. 

Prosesi selanjutnya ialah memasukkan tepung dalam wadah yang terbuat dari ruas bambu muda berdiameter sekitar 3 cm. Bambu itu telah dipotong bagian atasnya untuk jalan masuk tepung. Bambu berisi tepung ini dinamakan Undrat. Di luar lamin, telah tersedia kayu bakal arang. Disamping tumpukan arang, terdapat dua bambu memanjang yang ditopang kedua ujungnya. Lalu, bambu-bambu yang sudah berisi adonan tepung ditata dalam dua baris.

Proses bakar ini dinamakan pesak undrat. Selama dibakar, Undrat dibolak-balik agar matang rata. Pesak undrat atau memasak undrat dilakukan para kaum adam/lelaki. Di tempat masak undrat tersedia tempayan panjang agar warga memiliki kebersamaan dan kegotongroyongan. “Kami dari nenek moyang sudah gotong royong. Karena sudah mendarah daging gotong royong,” terang Kepala Adat Desa Lung Anai Ismail Lahang. 

Setelah matang, undrat dibawa masuk lagi ke lamin. Proses berikutnya ialah Undrat Au. Prosesi ini dilakukan dengan mengikis peralatan dapur. Hasil kikisan tersebut lalu ditempatkan pada peristirahatan leluhur beserta undrat. Tujuan prosesi ini ialah agar para arwah juga turut menikmati hasil panen bersama keluarga dan masyarakat. Setelah prosesi itu, tibalah bagian akhir acara. 

Potongan bambu berisi tepung beras yang sudah masak dimakan bersama-sama. Undarat mempunyai rasa yang khas, yakni gurih, manis, dan harum daun nangka. Mirip seperti rasa kue putu, hanya lebih harum. Semua warga dan tamu-tamu yang ada makan undrat bersama-sama, dengan hati yang gembira, penuh syukur bahwa terbukti hasil pekerjaan warga berhasil dan dapat dinikmati. Itulah Uman Undrat.(M-2)

Penulis : Abdillah M. Marzuqi
www.mediaindonesia.com