Minggu, 10 Juli 2016

Mengenal Filosofi Batik Rifa’iyah

Sepintas, tidak tampak ada perbedaan dengan Batik Rifa’iyah. Kain itu mirip dengan batik pesisir lain yang berasal dari Pekalongan, Brebes, Tegal, dan Indramayu.

Beberapa motif, pola, dan warna bahkan punya kemiripan dengan batik pesisir yang banyak di penga­ruhi kebudayaan dari luar, misalnya Tiongkok, Belanda, dan Arab.

Namun, jika diperhatikan lebih lanjut, ada yang unik dengan batik Rifa’iyah. Motif yang berhubung­an dengan benda bernyawa tidak digambarkan sesuai persis sama aslinya. Misalnya, dengan hanya menggambarkan sayapnya atau membuat guratan di lehernya sehingga mengesankan gambar hewan yang sudah disembelih.

Bukan rahasia lagi, bahwa satu dari sekian budaya warisan Indonesia yang sudah diakui UNESCO ialah batik. Seni membatik punya peran penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Karena itu, seni ini merupakan identitas sekaligus penguat karakter bangsa.

Lebih dari itu, batik ternyata juga menjadi media dakwah bagi para ulama di Indonesia. Perkembangan batik yang banyak terjadi di daerah santri membuat pengaruh Islam turut mewarnai perkembangan batik. Tak mengherankan jika batik merupakan media perjuangan sekaligus menjadi media dakwah.

Batik Rifa’iyah, begitu kain itu disebut, ialah salah satu motif yang menjadi kekhasan dari komunitas Rifa’iyah di Batang, Jawa Tengah. Sebutan Rifa’iyah diambil dari seorang tokoh agama bernama KH Ahmad Rifai. Sebagaimana disarikan dari buku Rembug Batik karya Budi Mulyawan dkk.

Ahmad Rifai berdakwah sekitar 1835 dan menulis buku sebanyak 67 judul dalam jangka 21 tahun. Ada yang 1 judul memuat 4 buku lebih. Dari jumlah tersebut, baru 64 yang ditemukan, sedangkan sekitar tiga karangannya tersisa di Amsterdam.

Ahmad Rifai dikabarkan dari Yogyakarta. Dahulu ia lahir di Kendal. Bapaknya bernama Maroko. Ia juga sempat diasingkan dari Kaliwungu Kendal ke Kalisalak-Batang. Konon, beliau satu zaman dengan KH Muhammad Cholil Bangkalan (Mbah Cholil) yang juga pernah menjadi buruh membatik di Kebon Candi, Pasuruan, dan sezaman pula dengan Syekh Nawawi Bantan (Banten).

Ahmad Rifai banyak melakukan penerjemahan bahasa Arab ke Jawa agar menyesuaikan budaya lokal, termasuk melakukan semacam distorsi motif pada batik. Gambar hewan diubah agar tidak terlihat seperti makhluk hidup. Prinsip ini meluas hampir di semua batik pantura.

Ajarannya kemudian melahirkan komunitas Rifaiyyah di Kalisalak, Batang. Rifa’iyah ialah lembaga atau ormas yang ada sekitar 1876. Komunitas Rifa’iyah membuat batik dengan konsep tiga negeri yang sebenarnya bermakna tiga hal, yakni tauhid, tasawwuf,dan ushulfiqih.

Itulah mengapa bagi komunitas Rifa’iyah, membatik merupakan pengamalan syariah dan dakwah. Bagaimana membentuk komunitas dakwah. Begitu yang ditulis dalam buku Rembug Batik.

Batik Rifa’iyah mendapat pe­ngaruh kuat Islam, yang ditampilkan dalam motif dan coraknya. Meski demikian, Batik Rifa’iyah mempunyai nilai karya seni yang luar biasa. Batik Rifa’iyah dibuat dalam bentuk kain panjang, sarung, maupun selendang yang difungsikan sebagai penutup aurat.

Kepala terpenggal

Ahmad Rifai mengajarkan bahwa menggambar hewan (sebagaimana batik Belanda) termasuk perbuatan mungkar. Ada sekitar 17 motif yang orisinal dari Rifaiyyah pada sekitar 1958—1959. Namun, yang dominan dipakai hanya ada empat motif. Salah satunya ialah motif pelo ati.

Secara umum, ragam hias pelo ati menggambarkan dua motif ayam dengan kepala terpenggal. Pada bagian tubuhnya menunjukkan ragam hias menyerupai bentuk hati, dan pada motif ayam lainnya terdapat pelo. Pelo Ati digambarkan dengan motif-motif bunga dan dedaunan. Ragam hias pelo ati memiliki pemaknaan dakwah terhadap ajaran Ahmad Rifai mengenai ilmu tasawuf.

Pada ragam hias batik pelo ati juga terdapat gambar ampela burung yang digambarkan berada di luar tubuh burung. Ampela ialah tempatnya kotoran dan harus dibuang. Ambaran ampela mengibaratkan sifat-sifat buruk manusia yang harus dibuang.

Bagi komunitas rifa’iyah, membatik bukanlah kegiatan yang asing. Mereka telah melakoni aktivitas membatik sejak kecil, terutama bagi kaum wanita. Sewaktu mereka beranjak dewasa atau saat menunggu dipinang, para wanita ini membuat batik yang paling bagus dari sekian karya batik yang mereka pernah buat. Hasilnya, akan dikenakan bersama dengan mempelai pria pada acara pernikahan.

Selain karya seni, batik Rifa’iyah ialah salah satu bukti dari perjuang­an dan perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam buku Rembug Batik karya Budi Mulyawan, dkk, diungkap bahwa KH Ahmad Rifai mengharamkan batik Belanda pada saat itu. Ahmad Rifai menolak batik Belanda sebab menganggap penjajahan Belanda bukan cuma luar ataupun busana, melainkan juga sampai wilayah dalam atau keimanan. Sampai kemudian beliau diasingkan karena berbahaya untuk para penjajah.

Beliau sangat keras mewanti-wanti agar orang-orang tidak menjadi antek-antek Belanda. Dalam kitabnya, beliau mengatakan, luwih becik nandur telo tinimbong melu wong olo (lebih baik menanam ketela (mandiri) daripada menghamba pada orang yang buruk. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com