Dayang Ayu - Dideng Dang Ayu

Legenda Daerah Sumatra Barat

Lutung Kasarung dan Purbasari

Legenda Daerah Jawa Barat

Sangkuriang

Legenda Daerah Jawa Barat

Bawang Merah dan Bawang Putih

Legenda Rakyat Jawa Barat

Tarian Klasik Keraton Jawa

Legenda Daerah Jawa Tengah

Minggu, 28 Agustus 2016

Memurnikan Niat Sedekah dengan Ser Maleng

Wajah Ki Mali, seorang guru mengaji di Dusun Tengger, Desa Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur, tiba-tiba ceria. Saat akan melaksanakan salat malam di kobhung (bangunan yang biasa dijadikan tempat istirahat dan salat) depan rumahnya, lelaki yang tinggal sendirian sepeninggal istrinya dan ditinggal anak-anaknya merantau itu mendapati sekarung beras jagung, tanpa diketahui siapa yang menaruh di depan pintu rumahnya.

Peristiwa itu tidak hanya terjadi sekali. Sebelumnya, kejadian beberapa kali hal yang sama juga terjadi. Terkadang berupa beras jagung (jagung kering yang sudah digiling), ubi jalar, kacang tanah, atau lainnya. 


Di wilayah perdesaan di Madura, kejadian seperti itu merupakan hal yang biasa terjadi dan disebut sadeka ngitek (sedekah sembunyi- sembunyi) atau juga disebut ser maleng (sedekah malam hari). Biasanya terjadi pada saat musim panen tanaman yang menjadi makanan pokok di wilayah tersebut. Ser maleng tidak hanya kepada tokoh masyarakat yang ekonominya pas-pasan dan ke fakir miskin, tapi juga ke sekolah, madrasah, atau tempat ibadah.

Sembunyi-sembunyi

Biasanya, sedekah itu dilakukan pada malam hari atau di saat penghuni rumah sedang tidak di rumah. Untuk tempat ibadah, sering kali diletakkan di bawah tikar atau alas ibadah. Budayawan Madura, Ibnu Hajar, mengatakan istilah sedekah ngitek karena sedekah tersebut dilakukan secara sembunyi- sembunyi tanpa sepengetahuan orang yang dituju, sedangkan istilah ser maleng diperkirakan berasal dari istilah shadaqatu assirri dalam bahasa Arab yang diadopsi ke bahasa Madura menjadi kata ser. 


Istilah maleng yang berarti pencuri, kata salah seorang penyair Madura itu, karena kebanyakan sedekah itu dilakukan pada malam hari seperti kebiasaan pencuri yang biasa melakukan aksi pencurian di malam hari, atau bersedekah dengan mencuri waktu di saat orang yang dituju tidak menyadari.

"Yang pasti, ser maleng bukan seperti kisah pencuri budiman dalam beberapa novel atau tayangan fi lm. Juga tidak seperti kisah Bajingan Lokajaya yang mencuri untuk bersedekah kepada fakir miskin. Tapi memang sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk menjaga keikhlasan hati," kata Ibnu Hajar. Memang tidak diketahui asal mula tradisi tersebut. Namun, kebiasaan yang kini sudah mulai pudar dan hanya bertahan di beberapa kawasan pelosok pulau garam itu diperkirakan berawal saat masyarakat di pulau itu mulai memeluk Islam.

Kebersamaan

Awalnya karena takut kepindahan mereka dari agama sebelumnya, Buddha, ke Islam diketahui penguasa yang masih belum muslim. Namun belakangan, setelah kerajaan di Madura menjadi kesultanan Islam, kebiasaan ser maleng atau bersedekah diam-diam itu menjadi kebiasaan. Pemerhati kebudayaan Madura, Syukron Rumadlon, mengatakan ajaran Islam yang mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa saling bantu sejalan dengan tingginya rasa kebersamaan masyarakat Madura pada masa lalu.

"Ikatan kekerabatan dan kesukuan di Madura cukup kuat dan ditopang ajaran Islam yang sangat menekankan kebersamaan," kata dia. Ia mengakui saat ini ada kecenderungan sikap kebalikan yang ditunjukkan sebagian kelompok masyarakat, dengan memu blikasikan kegiatan sedekah dan pembagian zakat, bahkan tidak jarang menggunakan sponsor. 

Namun, kebiasaan ser maleng masih tetap 'terjadi' terutama di wilayah perdesaan. Bahkan, jika sebelumnya bantuan untuk lembaga pendidikan dan tempat ibadah biasa diletakkan di bawah alas duduk, saat ini, kata dia, justru sering didapatkan kiriman bantuan melalui transfer bank dengan merahasiakan identitas pengirim. Salah satu dosen di Universitas Madura itu meyakini ser maleng tidak akan hilang meskipun saat ini sarana informasi sudah sangat mudah diakses dan makin banyak kelompok yang melakukan pencitraan melalui sedekah yang diiklankan.

"Sesuatu yang berangkat dari akar budaya tidak akan mudah dihapuskan. Ser maleng merupakan tindakan yang berangkat dari akar budaya. Mungkin hanya caranya saja yang berubah," kata Syukron. (M-2)

Penulis: Mohammad Ghazi
www.mediaindonesia.com

Minggu, 21 Agustus 2016

Maen Pukulan ala Betawi

Busana itu punya ciri leher yang bulat. Ia juga berlengan panjang. Pada badannya dibuat longgar. Celananya pun biasanya dibuat menggantung agar terlihat lebih simpel. Itulah setelan baju pangsi yang identik dengan orang Betawi.

Baju pangsi dahulu biasa dipakai para jagoan atau orang pandai berkelahi. Dari sisi warna, biasanya orang yang jago silat serta pemuka agama memakai warna cerah seperti krem atau putih, sedangkan warna hitam biasanya dipakai para jagoan silat.

Bukan rahasia lagi, tanah Betawi adalah surga silat. Hampir separuh dari sekitar 600-800 aliran atau perguruan yang ada di Indonesia berasal dari Jakarta. Ada sekitar 317 aliran maen pukulan di tanah Betawi, yang merupakan pengembangan dari sekitar 100-200 pecahan aliran dari empat aliran inti. Jumlah 317 aliran tersebut merupakan data yang dimiliki PPS Putra Betawi.

Betawi kaya akan silat atau dalam dialek lokal disebut maen pukulan. Ada ungkapan, “Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade maenannye (setiap hutan ada macannya, setiap kampung ada mainannya).” Hampir di setiap kampung dapat ditemukan maen pukulan, yang tentunya berbeda satu sama lain.

Lalu dari manakah asal silat di tanah Betawi? Pangsi juga ternyata bisa menjadi penanda asal mula silat Betawi.

Berdasarkan akar maen pukulan, GJ Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi me­ngelompokkan aliran maen pukulan Betawi menjadi dua kategori. Pertama yaitu akar aliran luar (aliran dari luar Nusantara) dan kedua yaitu akar aliran dalam (aliran Nusantara). Aliran luar yang banyak memengaruhi maen pukulan Betawi ialah ilmu bela diri kaum imigran Tionghoa. Hingga akhirnya, itu menjadi aliran maen pukulan Betawi yang berdiri sendiri, terlepas apakah aliran ilmu bela diri dibawa para imigran itu.

Pangsi ditenggarai berawal dari cara berpakaian orang Tionghoa, baju tui khim dan celana phang si, serta penggunaan kain ciu kin yang kerap dikenakan di leher para jago kuntao peranakan Tionghoa. Pada masyarakat Tionghoa peranakan di Kampung Cina Benteng Tangerang, tradisi mengalungkan ciu kin atau cukin di leher sebagai penanda yang bersangkutan memiliki kemampuan maen pukulan atau terkait dengan dunia maen pukulan, seperti para jago dan centeng.

“Tradisi berpakaian jago kuntao di Betawi bermetamorfosis menjadi baju tikim, celana pangsi, dan sarung yang dikalungkan di pundak. Seiring dengan perjalanan waktu, hal itu berkembang dan memiliki makna filosofi yang disesuaikan dengan adat istiadat orang Betawi umumnya dan kalangan maen pukulan khususnya sebagai dua simbol identitas Betawi, yaitu salat dan silat.” Begitu menurut analisis GJ Nawi.

Para imigran Tionghoa berasal dari Tiongkok Selatan. Mereka bermigrasi ke Betawi setelah Dinasti Manchu berkuasa di Tiongkok pada 1644. Mereka mempunyai ciri antara lain rambut bagian depan dicukur dan memakai taucang. Mereka membawa kebudayaan negeri asalnya, salah satunya ilmu bela diri ke Batavia dan mengembangkannya.

Orang-orang di daratan Tiongkok menyebut ilmu bela diri dengan yu su yang artinya ilmu kelemasan atau wushu yang berarti seni perkasa atau seni perang. Ketika orang Tiong­kok Selatan mengembangkannya di Betawi, oleh orang Tionghoa peranakan itu disebut kuntao. Secara etimologi, kuntao berasal dari dialek Hokkian, yaitu kun thau yang secara harfiah berarti kepalan tangan atau tinju, atau secara bebas memiliki pengertian sebagai seni bertarung.

Imigran Tionghoa


Pengaruh ilmu bela diri imigran Tionghoa juga dapat dilihat dari karakter khas gerakannya yang cepat, kuat, dan energik, dengan variasi metode pukulan dan suara hentakan menyertai gerakan-gerakannya. Dominasi tangan sebagai karakter serangan dan pertahanan dalam maen pukulan Betawi menandakan adanya pengaruh ilmu bela diri yang dibawa orang-orang selaun Sungai Yangtze (Tiongkok Selatan), yang dikategorikan sebagai aliran nan chuan atau ilmu bela diri aliran selatan.

Pada masa itu, mulai muncul entitas ilmu bela diri penduduk natif yang baru terbentuk. Sebagian besar masyarakat menyebutnya dengan istilah lokal, yakni maen pukulan.

Berangsur-angsur pula, muncul nama-nama aliran maupun gaya maen pukulan di Batavia kemudian disusul kemunculan sosok pendekar, jawara, jago, dan jagoan yang piawai ilmu bela diri. Pada umumnya, nama aliran diambil dari nama seseorang yang mengkreasikan atau nama kampung tempat asal maen pukulan itu.

Sebelum dengan budaya Tionghoa, dapat pula ditemui akulturasi aliran bela diri di Nusantara. Banyak bela diri dari berbagai daerah yang turut menyuburkan maen pukulan Betawi, seperti dari Tatar Sunda, Banten, dan Sulawesi.

Menilik sejarahnya, hunian awal masyarakat Betawi di Kalapa (sebelum Jayakarta) telah berfungsi sebagai pelabuhan laut penting pada masa Kerajaan Tarumanagara pada abad ke 4-7 Masehi. Sejak saat itu pula, beragam etnik berbaur di tanah Betawi.

Ilmu bela diri etnik Sunda menjadi dasar bagi aliran-aliran maen pukulan. Ruang lingkup etnik Betawi secara demografi berada di jazirah Jawa bagian barat. Maen pukulan Betawi yang banyak berakulturasi ialah yang berada di pinggiran yang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Banten.

Ilmu bela diri orang Melayu dan Bugis tidak ke­tinggalan memperkaya perbendaharaan teknik dan aliran maen pukulan Betawi. Beberapa gerakan khas bentuk lenggang dapat ditemukan pada komunitas Betawi di daerah Mampang, Tenabang, dan Kepulauan Seribu.

Penyebutan gerak jurus dan aliran yang masih menggunakan istilah asli menjadi indikasi adanya pengaruh itu. Sebagai contoh, sendeng dalam aliran pencak silat Bugis bertransformasi menjadi sinding dalam aliran maen pukulan Betawi. Pengaruh ilmu bela diri orang Mandar ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu istilah siliwaki atau seliwaki untuk menyebut seliwa di tanah Betawi. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi

www.mediaindonesia.com