Dayang Ayu - Dideng Dang Ayu

Legenda Daerah Sumatra Barat

Lutung Kasarung dan Purbasari

Legenda Daerah Jawa Barat

Sangkuriang

Legenda Daerah Jawa Barat

Bawang Merah dan Bawang Putih

Legenda Rakyat Jawa Barat

Tarian Klasik Keraton Jawa

Legenda Daerah Jawa Tengah

Minggu, 16 Oktober 2016

Menjaga Tradisi ketika Zaman Berganti

Keselamatan dalam kerja menjadi faktor utama bagi warga Dayak Tolak Sekayu saat berladang. Berbagai ritual pun digelar menyertai tahapan perladangan, dari menentukan dan membuka lahan hingga menikmati hasil panen. Ritual untuk memohon perlindungan dari Yang Mahakuasa itu dipimpin demung alias kepala adat.

Komunitas adat Dayak Tolak Sekayu bermukim di Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Ritual dalam tradisi perladangan mereka dimulai saat nyelepat benih. Upacara adat tersebut menandai dimulainya aktivitas pembukaan lahan dengan cara menebang, menebas, dan membakar ladang.

"Ritual digelar untuk menghindari bahaya, misalnya terluka akibat tertebas parang saat membuka lahan," kata Demung Perikan, Kepala Adat Desa Laman Satong kepada Media Indonesia, akhir Agustus lalu.

Ritual adat pun kembali digelar saat mulai menugal atau menanam padi. Begitu pula saat membakar lahan hingga padi mulai tumbuh dan berkembang. Ritual dalam menugal padi diakhiri dengan makan bersama oleh para perangkat adat di ladang yang telah diritualkan.

"Makanannya pakai (berwadahkan) daun kayu, tidak boleh menggunakannya yang lain," imbuh Wakil Demung Simon Asong.
Ngebau padi menjadi rangkaian ritual yang memungkasi tradisi perladangan di Desa Laman Satong. Puncak upacara adat tersebut digelar untuk mensyukuri hasil panen tahunan. Ngebau padi sekaligus menjadi pesta penutup tahun berdasarkan tradisi komunitas adat Dayak Tolak Sekayu.

Cetak sawah

Petani di Desa Laman Satong bertani di lahan kering atau ladang yang mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan. Penanaman dan panen dilakukan setahun sekali. Musim tanam berlangsung setiap akhir Agustus hingga awal September atau di pengujung kemarau. Sementara itu, pemanenan pada Maret hingga April atau di akhir musim kemarau.

Selain perladangan, sistem persawahan mulai diperkenalkan kepada warga setempat. Ada sekitar 100 hektare lahan di beberapa lokasi yang disiapkan pemerintah untuk pencetakan sawah baru di Laman Satong. Namun, program tersebut mandek lantaran lahan itu masih berstatus kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
"Baru sekitar 8 hektare yang dikerjakan, dan sepertinya tidak berlanjut karena masalah status kawasan," jelas Sekretaris Desa Laman Satong Idi saat dikonfirmasi, akhir Agustus lalu.

Warga dan perangkat adat sebetulnya tidak mempermasalahkan keberadaan sawah tersebut. Mereka sedikit pun tidak mengkhawatirkan sistem pertanian itu bakal menggerus tradisi perladangan dan berbagai ritual yang menyertainya. Upacara adat tetap bisa dilangsungkan dan berlaku untuk penanaman padi di sawah.

"Kata-katanya (mantra) hanya diubah sedikit, disesuaikan dengan kondisi. Ritualnya juga cukup digelar setahun sekali walaupun penanaman padi di sawah bisa lebih dari dua kali setahun," jelas Perikan.

Upaya mempertahankan tradisi perladangan juga dilakukan beberapa komunitas adat Dayak di Kalimantan Barat. Misalnya, warga Dayak Limbai di Kabupaten Melawi. Komunitas adat yang menetap di Dusun Sungkup, Kecamatan Menukung, ini tetap menjalankan mopat daun padi di lahan persawahan selain di ladang.

Mopat daun padi ialah ritual tahunan untuk menyuburkan padi. Ritual dilakukan terhadap padi yang berusia 2-3 bulan agar terhindar dari serangan hama dan penyakit. Upacara adat yang digelar para peladang tersebut juga diikuti warga yang bertanam padi di sawah.

"Mopat daun padi juga dilaksanakan untuk penanaman padi di sawah agar tumbuh subur serta terhindar dari serangan hama dan penyakit," tegas Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Belaban Ella, Bahen, beberapa waktu lalu.

Pemimpin adat

Pemimpin adat memiliki peran sentral dalam komunitas adat dayak. Mereka dianggap tokoh terpandang. Ucapan dan tindakan mereka menjadi anutan masyarakat. Selain memimpin dan mengatur upacara atau ritual adat, pemimpin adat menjadi penengah atau tokoh penentu dalam penyelesaian konflik di masyarakat.

Pemimpin atau ketua adat di komunitas Dayak di Kalimantan Barat lazim disebut kepala adat, temenggung, timanggong atau demung. Mereka membawahkan satu ketemenggungan (wilayah adat) yang meliputi beberapa perkampungan.

Ketua adat ada yang dipilih langsung oleh warga, ada pula berdasarkan trah atau garis keturunan. Seperti di komunitas adat Dayak Tolak Sekayu di Desa Laman Satong. Demung dipilih dari anak laki-laki pejabat sebelumnya, tetapi tidak mesti putra pertama. Putra ke berapa pun berhak menjadi demung sepanjang memenuhi kriteria dan disetujui warga.

"Calon demung harus memahami (pengetahuan) adat, bertingkah laku baik, dan bisa membaur di masyarakat," jelas Demung Perikan.
Jika demung tidak memiliki anak laki-laki, penggantinya ditentukan melalui musyawarah adat. Namun, kandidat dari trah atau garis keturunan demung tetap diutamakan tanpa mengabaikan kapasitas dan rekam jejak sang calon pengganti. (M-2)


Penulis: Aries Munandar
www.mediaindonesia.com

Minggu, 09 Oktober 2016

Kiramaik Jalan Spritual Petani Sonsang

Sonsang ialah kampung di lembah sempit bersawah luas. Di pematangnya yang kecil, Muhammad Rusdi Dt Mareko berdiri dengan gagah. Tangannya mengepak menunjukkan gerakan mengusir hama, sedangkan mulutnya terus merapal doa.

Terik matahari di penghujung Agustus itu tidak melelahkan semangat Inyiak Eko, begitu dia disapa, untuk meneruskan niat dan asa petani agar padi dijauhi hama, dan kelak mendapatkan hasil melimpah.

Saban dua bulan pascatanam padi di tiap tahunnya, petani di Jorong Sonsang menghantarkan doa, makan bersama, dengan tujuan hama berlalu, padi tumbuh berisi, dan panen yang melimpah.
Orang-orang Sonsang menamainya kiramaik, ritual meminta kepada Sang Pencipta agar padi tumbuh kembang tanpa ada gangguan.

Sonsang ialah jorong yang masuk teritorial Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, sekitar 20 kilometer dari Kota Bukittinggi.

Wali Jorong Sonsang Yul Maison menyebutkan luas total sawah di Sonsang lebih kurang 86 hektare. Sawah yang luas menjadi sumbu ekonomi warga Sonsang. Sebab itu, padi yang tumbuh di atasnya adalah segalanya bagi masyarakat Sonsang. "Sebanyak 85% dari 800 jiwa masyarakat Sonsang adalah petani," ujar Yul.

Sebagian besar petani di Sonsang menanam padi varietas kuriak kusuik. Namun, saat ini juga ada yang mulai menanam varietas putih. Bila hama ramah, dikatakan Yul, panen padi sekitar 100 belek (seperti kotak suara KPU) per hektare. Selain untuk konsumsi, padi dijual.

"Biaya sehari-hari dan sekolah anak, sebagian bersumber dari hasil penjualan padi," jelas Yul yang juga seorang petani.
Yul mengatakan, dari total luas sawah sekitar 86 hektare, hanya seperempat yang teraliri irigasi. Selebihnya berharap belas kasih pasokan air dari langit. "Sebagian sawah di sini sawah banda langik (tadah hujan)," tukas Yul.

Seret air hanya sebagian kecil nelangsa petani Sonsang. Hama juga momok karena bisa memupus asa akan hasil panen yang melimpah. Itu menjadi alasan masyarakat Sonsang menggelar kiramaik. Sejarahnya pun berakar dari malapetaka seabad yang lalu. "Kiramaik itu pusaka nenek moyang. Sudah mentradisi," ujar Yul.

Sejarah kiramaik tidak bisa dilepaskan dari Tarekat Naqsyabandiyyah. Seperti yang diutarakan Inyiak Mareko, upacara kiramaik lahir dari permintaan masyarakat Sonsang kepada seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah.

Kiramaik merupakan bahasa Minang dari kata 'keramat'. Secara definisi keramat ialah suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa).

Begitu juga dengan kiramaik di Sonsang. Menurut Inyiak Eko, kiramaik ada dalam Alquran, yakni karomah. Kiramaik itu doa, bukan sihir. Ia dimiliki wali-wali Allah, bukan nabi atau rasul yang sungguh-sungguh mengerjakan syariat-Nya dengan mujahadah yang kuat sehingga sampai pada derajat wali.

"Inna akramakum `indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang paling bertakwa di antara kalian)," jelas Inyiak Eko. Guru Tarekat Naqsyabandiyyah selalu menjadi pemegang kendali ritual sejak lahir pada 1910. Inyiak mareko ialah ahli waris pemimpin spiritual kiramaik. Dia juga mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah di Sonsang.

Berseminya komunalisme

Kiramaik dipimpin guru tarekat, tapi bukan berarti ritualnya orang-orang tasawuf. Kiramaik merupakan saluran doa-doa bagi semua orang Sonsang menyongsong hasil padi yang lebih baik.
Inyiak Eko mengatakan, dalam kiramaik, dia hanya sebagai pemimpin doa, sedangkan segala hantaran pelengkap doa tanggung jawab petani masing-masing yang memiliki sawah di Sonsang. "Kiramaik itu doa," tukasnya.

Tiap petani, sebutnya, menyediakan tujuh ragam 'obat-obatan' seperti daun kumpai, cikarau, sitawa sidingin, daun jeruk.
Sebelum menuju padang berdoa di Gurun Tangah, terlebih dahulu persyaratan tersebut telah disiapkan di rumah. Caranya, tujuh jenis ramuan tersebut dihaluskan, dicampur, lalu disiram air di dalam ember.

Kiramaik biasanya dilaksanakan pagi, saat acara berlangsung sekitar 2 jam. Dari rumah, petani mengarak ember yang telah berisi ramuan menuju ke Gurun Tangah, tempat dilangsungkannya kiramaik. Bersamaan itu pula, masyarakat juga membawa nasi lengkap dengan lauk-pauknya.

Sesampai di sawah, ember diletakkan di tengah gurun. Sekejap kemudian, mulut Inyiak Eko komat-kamit membaca doa kulimah tarekat. Bunyi doa sederhana, seperti 'Ya Allah selamatkan kami di dunia akhirat, pelihara daripada azab neraka'.

Kehadiran anak-anak dalam kiramaik sangat krusial. Doa anak-anak adalah amunisi harapan yang dihiasi ketulusan. "Jangan salah, doa anak-anak itu didengar Yang di Atas," ujar Inyiak Eko.
Menakar perubahan yang terjadi setelah kiramaik memang tidak mungkin karena itu bukan bicara statistik. Namun, dari pengakuan Inyiak Eko, ada beberapa petani melaporkan, setelah digelarnya kiramaik, padi yang diserang tikus tidak ada lagi.

Ritual tahunan kiramaik masih berjalan secara tradisional, tapi tentu tidak tertutup menjadi bagian kalender wisata Sonsang. Apalagi, kampung di lingkar Bukit Barisan itu baru saja menggelar Festival Sonsang.

Festival Sonsang yang bakal diadakan tiap tahun tentu potensi bagi kiramaik tampil di khalayak lebih ramai. Dengan begitu, nilai-nilai spiritual dalam pertanian yang terkandung dalam kiramaik lebih tersiar. (M-2)

Penulis: Yose Hendra
www.mediaindonesia.com

Minggu, 25 September 2016

Dilarang Curi Motif

Petrohela Peni Hipir, 67, tampak tekun menyusun benang dan memasukkannya sesuai dengan keinginannya untuk membentuk motif tertentu. Setelah ia menyusun benang, ia pun memegang kayu untuk menekan benang tersebut sehingga motif itu semakin tersusun dan membentuk kain berukuran panjang 1,5 meter dan 50 meter.

Petrohela menggunakan sejumlah motif, seperti tenar--perahu dan ikan belepa, lepo atau bengkuang, ikam mokum, petinan atau peti, dan temetak, yakni sambungan.

Untuk menciptakan motif-motif itu, Petrohela menggunakan tiga warna, yakni kuning, merah, dan hitam. Semua warna itu pun dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam warga.

Untuk mendapatkan warna merah, mereka menggunakan akar mengkudu yang dihancurkan dan dicampur ke air, sedangkan warna kuning dari kunyit dan warna hitam dari daun tarum.

Sebelum melakukan pewarnaan, khususnya kain adat, para perempuan Desa Nubahaeraka, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan prosesi. Kapas-kapas yang sudah dipintal menjadi benang diikat dengan tali rafia untuk membentuk motif tertentu. Untuk memulai prosesi pewarnaan, Petrohela menurunkan kendi-kendi tanah liat dari tempat penyimpanannya dan memulai doa serta memakan pinang.

Kendi-kendi itu digunakan untuk menampung pewarna alami yang akan digunakan. Benang-benang tersebut dimasukkan ke kendi yang dipanaskan dengan kayu bakar.

Setelah menyerap warna, benang akan dikeluarkan dari kendi untuk dikeringkan. Meski sudah kering dan warna menyerap, benang itu tidak bisa langsung digunakan.

"Ketika sudah kering kita simpan lagi. Tahun depan baru dibuka lagi dan dilakukan prosesi pewarnaan. Pewarnaan akan dilakukan selama tiga tahun baru boleh ditenun," ujar Elisabeth Nogo Keraf.

Tiga tahun, lanjut perempuan yang akrab disapa Mama Elis itu, dinilai cukup dan warna sudah menyerap dengan baik ke benang. Warna yang dihasilkan pun lebih baik. Tak pelak harga kain adat itu pun dibanderol Rp3 juta-Rp4 juta.

Gila

Namun, jangan sesekali Anda mencoba mencuri motif kain adat orang lain. Satu motif hanya bisa digunakan 5-6 orang di desa itu.

"Jadi dalam satu keluarga belum tentu motifnya sama karena satu motif hanya untuk 5-6 orang saja," jelas mama Elis.

"Misalkan saya menjemur tenun saya setelah mencuci, orang akan tahu itu sarung punya saya karena motif tersebut hanya ada di sana," tambahnya.

Bila seseorang ingin mengubah motif mereka, kata Mama Elis, mereka harus melakukan prosesi cuci tangan. Itu ialah prosesi ketika ia mengembalikan motif tersebut kepada pemilik motif yang asli dan meminta izin penggunaan motif yang baru ke pemilik yang lain.

Pelanggaran penggunaan motif sembarangan bisa sangat berbahaya. Bila si pemilik motif tidak mengizinkan motifnya digunakan orang lain, ia bisa menjatuhkan kutukan.

"Kalau mencuri motif bisa menjadi buta atau paling parah menjadi gila," ujar perempuan berusia 48 tahun itu.

Kebutaan bisa terjadi bila sang pemilik motif menusukan jarum yang digunakan untuk menenun ke batok kelapa tempat penyimpanan jarum. Batok kelapa itu biasanya terletak di samping peralatan tenun.

"Bila tusuk sekali, orang itu (pencuri motif) akan buta. Bila ditusuk lagi bisa gila," ungkapnya.

Agar orang itu bisa mendapatkan penglihatannya kembali, prosesi adat harus dilakukan. Di prosesi tersebut yang melakukan pencurian motif harus meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya. Bila prosesi adat sudah dilakukan, orang tersebut akan bisa melihat kembali.

"Dulu pernah kejadian seperti itu dan setelah prosesi adat baru bisa melihat lagi," ucapnya. (M-2)

Sumber : Media Indonesia

Minggu, 04 September 2016

Merajut Kasih di Puncak Atas Angin

Berikrar cinta di Puncak Atas Angin dipercaya bisa meneguhkan hubungan asmara pasangan kekasih. Legenda asmara itu memicu warga berbondong membuktikan tuah Bukit Cinta. Kondisi hutan di Pulau Jawa banyak yang mengalami kerusakan parah. Penyebabnya banyak faktor, antara lain pembalakan liar dan aktivitas pertambangan. Secara umum, kondisi hutan di kawasan tersebut rusak parah. 

Tak hanya itu, bukit yang berada dalam kawasan barisan Perbukitan Kendeng Selatan dalam kondisi gundul tanpa hutan dan pohon. Hanya beberapa kawasan yang berlahan subur. Terutama, lahan yang berada di sekitar mata air dan sungai yang masih mengalir. Tak mengherankan jika pada musim penghujan, hampir seluruh daerah di kawasan selatan rawan diterjang banjir bandang dan tanah longsor. 

Dengan demikian, untuk bisa bertahan hidup, masyarakat kawasan selatan mesti kreatif menyiasati dan merawat lingkungan. Tak terkecuali, gundulnya hutan dan bukit juga terjadi pada kawasan hutan dan bukit di Desa Klino, Kecamatan Sekar. Namun, karena terdorong rasa kepedulian yang tinggi, masyarakat sejumlah desa di kawasan setempat kemudian berkreasi dalam mengolah sumber daya alam yang tersedia. 

Mereka berusaha merawat mata air yang ada dan menyulap Bukit Atas Angin yang gersang hingga menjadi tempat objek wisata yang menarik. Ya, Bukit Atas Angin gersang itu kemudian juga dinamakan ‘Bukit Cinta.’ Di bukit itu, pasangan yang menjalin cinta kasih diyakini bakal langgeng selamanya. Terutama, bagi sepasangan kekasih yang mengucap ikrar di atas Bukit cinta. 

Sepasang muda-mudi mendatangi bukit itu. Selesai memarkir kendaraan, pasangan berlain jenis itu beranjak jalan. Mereka menuju arah tenggara, menyusuri jalan setapak. Tak ada semak sepanjang jalan itu. Beberapa pohon pun tumbuh berjauhan. Jalan setapak itu makin menanjak dan melewati celah bebatuan. 

Keduanya remaja itu pun merangkak. Setengah jam kemudian mereka sampai di puncak. Ya, Bukit Cinta di kawasan Atas Angin. Dua buah pohon tumbuh menghiasi puncak Bukit Atas Angin. Pada bagian, lain tampak tumpukan batuan yang ditata setinggi semeter. Sebuah gazebo juga sedang didirikan pada bukit berketinggian 650 meter di atas permukaan laut tersebut. 

Pemandangan di kawasan puncak Atas Angin juga semakin memesona manakala dinikmati menjelang petang hari. Temaram sinar mentari membuat suasana Atas Angin menjadi romantis. Dari Bukit Cinta pula, pengunjung bisa dengan leluasa menikmati pemandangan sekeliling. Tiap akhir pekan dan hari libur, tak kurang belasan pasangan kekasih mengunjungi kawasan Atas Angin. 

Tak hanya dari Bojonegoro, para pengunjung juga berasal dari berbagai kawasan sekitar kabupaten setempat. Antara lain, Kabupaten Ngawi, Madiun, Tuban, Lamongan, Blora, Probolinggo, Madura, Nganjuk, dan sejumlah kawasan di Jawa Tengah.

Asmara melegenda
Puncak Atas Angin tiap hari makin ramai dikunjungi warga dari berbagai daerah. Minimnya destinasi wisata di kawasan selatan Bojonegoro menjadi faktor pendukung kawasan perbukitan Desa Klino menjadi ramai. Sebagian besar kawasan selatan yang berbatasan Kabupaten Nganjuk dan Madiun tersebut gersang. Faktor lain ialah kawasan Atas Angin diyakini menjadi tempat sakral bagi masyarakat setempat. 

Sejumlah goa, pertapaan, dan petilasan mendorong Atas Angin semakin kerap dikunjungi warga sekitar. Sejak dibuka pada tiga tahun silam, kini Bukit Cinta makin dikenal. Bukan tanpa sebab bukit gersang di kawasan Kecamatan Sekar itu disebut Bukit Cinta. Juru Kunci Negeri Atas Angin, Ki Seger, memaparkan pemberian nama Bukit Cinta disebabkan adanya kisah asmara antara Raden Seomantri Atas Adji-bangsawan pelarian Kerajaan Mataram dengan Dewi Sekarsari putri Bupati Rajekwesi. 

Kedatangan Raden Seomantri Atas Adji dari Mataram di pusara Petapan Atas Angin bersama saudaranya R Sudjono Puro. Keduanya kemudian menetap di Atas Angin setelah beberapa lama melakukan pengembaraan. Mereka kemudian berguru pada Ki Brojo. Tak berselang lama, keduanya mendengar Bupati Rajekwesi menggelar sayembara untuk memilih prajurit pilih tanding. 

Seomantri Atas Adji kemudian mengikuti sayembara tersebut. Karena kesaktiannya, Soemantri berhasil mengalahkan para peserta lainnya. Bupati Rajekwesi yang kagum dengan kedigdayaan Soemantri kemudian mengangkatnya menjadi panglima Kadipaten. Tak hanya itu, Adipati Rajekwesi juga mengizinkan putrinya Dewi Sekarsari dipersun­ting Soemantri. 

Namun, pernikahan Soemantri dengan Sekarsari tidak disukai saudaranya, Sudjono Puro. Bahkan, Sudjono berniat merebut Dewi Sukarsari. Karena ia kendil (tidak mau rukun) dengan saudara­nya, akhirnya terjadi perkelahian di suatu bukit hingga kemudian gunung tempat pertempuran itu disebut Bukit Kendil. 

Pada saat pertengkaran saudara itu berlangsung, bunga pengantin jatuh ke selatan bukit sehingga kawasan selatan Atas Angin pada kemudian hari disebut Desa Sekar. Pertengkaran dua bersaudara itu kemudian dilerai Ki Brojo, guru mereka. Setelah kejadian tersebut, Soemantri dan Dewi Sekarsari bersumpah setia di puncak Atas Angin.
Mereka berikrar akan saling setia sampai ajal menjemput. Legenda asmara keduanya dipercaya masyarakat sekitar hingga saat ini. Atas dasar cerita itulah, kawasan Atas Angin disebut Bukit Cinta. Untuk melestarikan kisah asmara itu, masyarakat menggelar acara sedekah bumi. 

Tradisi wujud syukur pada Tuhan itu juga dimeriahkan dengan pergelaran kesenian wayang tenggul di Atas Angin pada setiap Syawal. Masyarakat sekitar juga merawat sendang (mata air) Kembar di Desa Deling yang diyakini peninggalan Ki Brojo, termasuk merawat tempat bertapa Ki Brojo di sebuah tempat yang bernama Pusara Atas Angin. (M-2)

Penulis: M Ahmad Yakub
www.mediaindonesia.com