Dayang Ayu - Dideng Dang Ayu

Legenda Daerah Sumatra Barat

Lutung Kasarung dan Purbasari

Legenda Daerah Jawa Barat

Sangkuriang

Legenda Daerah Jawa Barat

Bawang Merah dan Bawang Putih

Legenda Rakyat Jawa Barat

Tarian Klasik Keraton Jawa

Legenda Daerah Jawa Tengah

Minggu, 25 September 2016

Dilarang Curi Motif

Petrohela Peni Hipir, 67, tampak tekun menyusun benang dan memasukkannya sesuai dengan keinginannya untuk membentuk motif tertentu. Setelah ia menyusun benang, ia pun memegang kayu untuk menekan benang tersebut sehingga motif itu semakin tersusun dan membentuk kain berukuran panjang 1,5 meter dan 50 meter.

Petrohela menggunakan sejumlah motif, seperti tenar--perahu dan ikan belepa, lepo atau bengkuang, ikam mokum, petinan atau peti, dan temetak, yakni sambungan.

Untuk menciptakan motif-motif itu, Petrohela menggunakan tiga warna, yakni kuning, merah, dan hitam. Semua warna itu pun dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan yang ditanam warga.

Untuk mendapatkan warna merah, mereka menggunakan akar mengkudu yang dihancurkan dan dicampur ke air, sedangkan warna kuning dari kunyit dan warna hitam dari daun tarum.

Sebelum melakukan pewarnaan, khususnya kain adat, para perempuan Desa Nubahaeraka, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan prosesi. Kapas-kapas yang sudah dipintal menjadi benang diikat dengan tali rafia untuk membentuk motif tertentu. Untuk memulai prosesi pewarnaan, Petrohela menurunkan kendi-kendi tanah liat dari tempat penyimpanannya dan memulai doa serta memakan pinang.

Kendi-kendi itu digunakan untuk menampung pewarna alami yang akan digunakan. Benang-benang tersebut dimasukkan ke kendi yang dipanaskan dengan kayu bakar.

Setelah menyerap warna, benang akan dikeluarkan dari kendi untuk dikeringkan. Meski sudah kering dan warna menyerap, benang itu tidak bisa langsung digunakan.

"Ketika sudah kering kita simpan lagi. Tahun depan baru dibuka lagi dan dilakukan prosesi pewarnaan. Pewarnaan akan dilakukan selama tiga tahun baru boleh ditenun," ujar Elisabeth Nogo Keraf.

Tiga tahun, lanjut perempuan yang akrab disapa Mama Elis itu, dinilai cukup dan warna sudah menyerap dengan baik ke benang. Warna yang dihasilkan pun lebih baik. Tak pelak harga kain adat itu pun dibanderol Rp3 juta-Rp4 juta.

Gila

Namun, jangan sesekali Anda mencoba mencuri motif kain adat orang lain. Satu motif hanya bisa digunakan 5-6 orang di desa itu.

"Jadi dalam satu keluarga belum tentu motifnya sama karena satu motif hanya untuk 5-6 orang saja," jelas mama Elis.

"Misalkan saya menjemur tenun saya setelah mencuci, orang akan tahu itu sarung punya saya karena motif tersebut hanya ada di sana," tambahnya.

Bila seseorang ingin mengubah motif mereka, kata Mama Elis, mereka harus melakukan prosesi cuci tangan. Itu ialah prosesi ketika ia mengembalikan motif tersebut kepada pemilik motif yang asli dan meminta izin penggunaan motif yang baru ke pemilik yang lain.

Pelanggaran penggunaan motif sembarangan bisa sangat berbahaya. Bila si pemilik motif tidak mengizinkan motifnya digunakan orang lain, ia bisa menjatuhkan kutukan.

"Kalau mencuri motif bisa menjadi buta atau paling parah menjadi gila," ujar perempuan berusia 48 tahun itu.

Kebutaan bisa terjadi bila sang pemilik motif menusukan jarum yang digunakan untuk menenun ke batok kelapa tempat penyimpanan jarum. Batok kelapa itu biasanya terletak di samping peralatan tenun.

"Bila tusuk sekali, orang itu (pencuri motif) akan buta. Bila ditusuk lagi bisa gila," ungkapnya.

Agar orang itu bisa mendapatkan penglihatannya kembali, prosesi adat harus dilakukan. Di prosesi tersebut yang melakukan pencurian motif harus meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya. Bila prosesi adat sudah dilakukan, orang tersebut akan bisa melihat kembali.

"Dulu pernah kejadian seperti itu dan setelah prosesi adat baru bisa melihat lagi," ucapnya. (M-2)

Sumber : Media Indonesia

Minggu, 04 September 2016

Merajut Kasih di Puncak Atas Angin

Berikrar cinta di Puncak Atas Angin dipercaya bisa meneguhkan hubungan asmara pasangan kekasih. Legenda asmara itu memicu warga berbondong membuktikan tuah Bukit Cinta. Kondisi hutan di Pulau Jawa banyak yang mengalami kerusakan parah. Penyebabnya banyak faktor, antara lain pembalakan liar dan aktivitas pertambangan. Secara umum, kondisi hutan di kawasan tersebut rusak parah. 

Tak hanya itu, bukit yang berada dalam kawasan barisan Perbukitan Kendeng Selatan dalam kondisi gundul tanpa hutan dan pohon. Hanya beberapa kawasan yang berlahan subur. Terutama, lahan yang berada di sekitar mata air dan sungai yang masih mengalir. Tak mengherankan jika pada musim penghujan, hampir seluruh daerah di kawasan selatan rawan diterjang banjir bandang dan tanah longsor. 

Dengan demikian, untuk bisa bertahan hidup, masyarakat kawasan selatan mesti kreatif menyiasati dan merawat lingkungan. Tak terkecuali, gundulnya hutan dan bukit juga terjadi pada kawasan hutan dan bukit di Desa Klino, Kecamatan Sekar. Namun, karena terdorong rasa kepedulian yang tinggi, masyarakat sejumlah desa di kawasan setempat kemudian berkreasi dalam mengolah sumber daya alam yang tersedia. 

Mereka berusaha merawat mata air yang ada dan menyulap Bukit Atas Angin yang gersang hingga menjadi tempat objek wisata yang menarik. Ya, Bukit Atas Angin gersang itu kemudian juga dinamakan ‘Bukit Cinta.’ Di bukit itu, pasangan yang menjalin cinta kasih diyakini bakal langgeng selamanya. Terutama, bagi sepasangan kekasih yang mengucap ikrar di atas Bukit cinta. 

Sepasang muda-mudi mendatangi bukit itu. Selesai memarkir kendaraan, pasangan berlain jenis itu beranjak jalan. Mereka menuju arah tenggara, menyusuri jalan setapak. Tak ada semak sepanjang jalan itu. Beberapa pohon pun tumbuh berjauhan. Jalan setapak itu makin menanjak dan melewati celah bebatuan. 

Keduanya remaja itu pun merangkak. Setengah jam kemudian mereka sampai di puncak. Ya, Bukit Cinta di kawasan Atas Angin. Dua buah pohon tumbuh menghiasi puncak Bukit Atas Angin. Pada bagian, lain tampak tumpukan batuan yang ditata setinggi semeter. Sebuah gazebo juga sedang didirikan pada bukit berketinggian 650 meter di atas permukaan laut tersebut. 

Pemandangan di kawasan puncak Atas Angin juga semakin memesona manakala dinikmati menjelang petang hari. Temaram sinar mentari membuat suasana Atas Angin menjadi romantis. Dari Bukit Cinta pula, pengunjung bisa dengan leluasa menikmati pemandangan sekeliling. Tiap akhir pekan dan hari libur, tak kurang belasan pasangan kekasih mengunjungi kawasan Atas Angin. 

Tak hanya dari Bojonegoro, para pengunjung juga berasal dari berbagai kawasan sekitar kabupaten setempat. Antara lain, Kabupaten Ngawi, Madiun, Tuban, Lamongan, Blora, Probolinggo, Madura, Nganjuk, dan sejumlah kawasan di Jawa Tengah.

Asmara melegenda
Puncak Atas Angin tiap hari makin ramai dikunjungi warga dari berbagai daerah. Minimnya destinasi wisata di kawasan selatan Bojonegoro menjadi faktor pendukung kawasan perbukitan Desa Klino menjadi ramai. Sebagian besar kawasan selatan yang berbatasan Kabupaten Nganjuk dan Madiun tersebut gersang. Faktor lain ialah kawasan Atas Angin diyakini menjadi tempat sakral bagi masyarakat setempat. 

Sejumlah goa, pertapaan, dan petilasan mendorong Atas Angin semakin kerap dikunjungi warga sekitar. Sejak dibuka pada tiga tahun silam, kini Bukit Cinta makin dikenal. Bukan tanpa sebab bukit gersang di kawasan Kecamatan Sekar itu disebut Bukit Cinta. Juru Kunci Negeri Atas Angin, Ki Seger, memaparkan pemberian nama Bukit Cinta disebabkan adanya kisah asmara antara Raden Seomantri Atas Adji-bangsawan pelarian Kerajaan Mataram dengan Dewi Sekarsari putri Bupati Rajekwesi. 

Kedatangan Raden Seomantri Atas Adji dari Mataram di pusara Petapan Atas Angin bersama saudaranya R Sudjono Puro. Keduanya kemudian menetap di Atas Angin setelah beberapa lama melakukan pengembaraan. Mereka kemudian berguru pada Ki Brojo. Tak berselang lama, keduanya mendengar Bupati Rajekwesi menggelar sayembara untuk memilih prajurit pilih tanding. 

Seomantri Atas Adji kemudian mengikuti sayembara tersebut. Karena kesaktiannya, Soemantri berhasil mengalahkan para peserta lainnya. Bupati Rajekwesi yang kagum dengan kedigdayaan Soemantri kemudian mengangkatnya menjadi panglima Kadipaten. Tak hanya itu, Adipati Rajekwesi juga mengizinkan putrinya Dewi Sekarsari dipersun­ting Soemantri. 

Namun, pernikahan Soemantri dengan Sekarsari tidak disukai saudaranya, Sudjono Puro. Bahkan, Sudjono berniat merebut Dewi Sukarsari. Karena ia kendil (tidak mau rukun) dengan saudara­nya, akhirnya terjadi perkelahian di suatu bukit hingga kemudian gunung tempat pertempuran itu disebut Bukit Kendil. 

Pada saat pertengkaran saudara itu berlangsung, bunga pengantin jatuh ke selatan bukit sehingga kawasan selatan Atas Angin pada kemudian hari disebut Desa Sekar. Pertengkaran dua bersaudara itu kemudian dilerai Ki Brojo, guru mereka. Setelah kejadian tersebut, Soemantri dan Dewi Sekarsari bersumpah setia di puncak Atas Angin.
Mereka berikrar akan saling setia sampai ajal menjemput. Legenda asmara keduanya dipercaya masyarakat sekitar hingga saat ini. Atas dasar cerita itulah, kawasan Atas Angin disebut Bukit Cinta. Untuk melestarikan kisah asmara itu, masyarakat menggelar acara sedekah bumi. 

Tradisi wujud syukur pada Tuhan itu juga dimeriahkan dengan pergelaran kesenian wayang tenggul di Atas Angin pada setiap Syawal. Masyarakat sekitar juga merawat sendang (mata air) Kembar di Desa Deling yang diyakini peninggalan Ki Brojo, termasuk merawat tempat bertapa Ki Brojo di sebuah tempat yang bernama Pusara Atas Angin. (M-2)

Penulis: M Ahmad Yakub
www.mediaindonesia.com