Minggu, 15 Mei 2016

Ritual Nyamut Muai Kearifan Lokal Dayak Tae

Menjelang gelap, rombongan itu tiba di tanah Desa Tae. Mereka melangkah pelan melewati jalan tak beraspal. Agak berhati mereka berjalan, sebab kondisi jalan menurun meski tak terlalu curam. Ditambah lagi, jalanan tanah itu licin dan berisiko menggelincirkan akibat sebelumnya mendapat jatah siraman air dari langit. Agak jauh dari tempat rombongan berpisah dari kendaraan, banyak warga desa yang tengah berkumpul. Masih terlihat jelas dengan mata telanjang dengan jarak yang hanya sekitar 200 meter.

Mereka berkumpul di tengah tanah lapang. Kala itu, rombongan sedang berkunjung ke masyarakat Dayak yang bermukin di Desa Tae, Kecamatan Balai Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Para warga desa berkumpul di sebelah dalam gapura buatan. Tidak ada satu pun dari mereka yang berada di luar gapura. Ada semacam garis imajiner terbentuk dengan tarikan garis lurus dari gapura tersebut.

Gapura penyambutan terbuat dari dua tiang bambu dengan kayu melintang di atasnya, sedangkan pelepah kelapa digantung dengan daun berjuntai ke bawah. Seperti halnya para warga yang tak boleh keluar dari batas, para tamu pun tidak diperbolehkan melewati batas juntaian daun kelapa. Ketika rombongan semakin mendekat ke gapura, para warga pun berlaku sebaliknya. Beringsut mereka merapat ke arah gapura. Hingga pada akhirnya, rombongan dan warga berhadapan. Hanya gapura bambu jadi pemisah.


Menghormati tamu

Namun, sebelum rombongan melewati batas gapura bambu. Terlebih dahulu mereka harus melaksanakan upacara adat nyamut muai. Ritual tersebut dimaksudkan untuk menyambut dan menghormati tamu yang datang ke tanah adat Dayak Tae. Prosesi tepat dilakukan di depan gapura penyambutan. Tetua adat memulai pembacaan mantra. Lirih dan lamat terdengar.

Di tangan mereka memegang mangkuk berisi beras kuning. Sesaat kemudian, beras kuning melayang. Butirannya bertabur di atas kepala para rombongan. Belum selesai, salah seorang perwakilan rombongan diminta untuk menyembelih ayam jantan. Seorang dari warga membawa ayam jago tersebut dengan kondisi kaki terikat. Seorang lainnya menenteng sebilah pisau.

"Ini dipotong dulu," ujar salah seorang dari kumpulan warga. Seorang dari rombongan maju ke depan. Ia menerima pisau dari warga. Ia mulai momotong leher ayam tersebut. Lalu darah yang mengucur pun tak dibiarkan sampai di bumi. Sebab ditadahi dalam mangkuk yang telah disiapkan sebelumnya. Darah dalam mangkuk tersebut kemudian di-calek-kan (sentuh/oles) pada setiap tamu dengan sehelai bulu ayam. Setelah semua selesai, apakah rombongan sudah diperbolehkan melewati gapura? Ternyata belum. Sebab masih ada beberapa rangkaian ritual. Pemuka adat menarik diri ke arah samping. Giliran seorang dara maju sembari menyodorkan siakng atau sesajen. Siakng diletakkan dalam bokor kecil di atas dulang.

Ternyata, setiap peserta rombongan harus mengonsumsi salah satu yang tersaji di dalam bokor. Beberapa di antaranya ada pinang, gambir, rokok daun, sirih, dan rokok nipah. Namun, jika tidak terbiasa mengunyah sirih atau merokok nipah (daun), para tamu cukup menyentuh bokor kecil tersebut. Seusai semua prosesi, para tamu diperbolehkan melewati gapura penyambutan. Para rombongan telah diterima secara adat untuk masuk ke wilayah desa.

"Ini tanda kalian disambut secara tradisi adat di desa ini. Kita pamit pada keramat," terang pemuka adat Dayak Tae Temenggung Anuk. Tumenggung Anuk juga menerangkan tujuan dari upacara nyamut muai. Setidaknya ada tiga hal yang dimaksudkan dalam pelaksanaan upacara nyamut muai. Pertama meneguhkan tradisi yang telah ada sejak zaman leluhur. Kedua pengakuan masuk bagi orang luar. Ketiga memohon keselamatan bagi orang luar maupun orang dalam.

"Agar tidak kenapa-kenapa," tegas Anuk. Upacara nyamut muai tidak hanya dilakukan sekali. Beberapa kali rombongan mendapati upacara adat tersebut. Sebut saja sebelum masuk hutan adat Tembawang atau masuk ke kampung lain. Di situ ada nilai penghormatan tuan rumah terhadap tamu. Selain itu, upacara ini merupakan cerminan dari kearifan masyarakat Dayak Tae. Kearifan budaya untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dan alam.

Sungguh penghormatan yang luar biasa terhadap tamu. Setelah upacara adat nyamut muai, rombongan juga dijamu dengan makanan ala masyarakat lokal. "Ini ayam yang dipotong tadi," ujar seorang perempuan sembari membawa baskom berisi daging ayam yang telah dimasak. Malam harinya, salah seorang dari rombongan diminta untuk menyembelih dua ekor ayam yang bakal dimasak untuk esok hari. Sebab beberapa dari rombongan memang tidak memakan daging makhluk hidup termasuk ayam yang tidak disembelih menurut tata cara mereka.

Selain itu, jangan harap merasakan perut kosong saat berkunjung ke Desa Tae. Masyarakat setempat sangat senang jika bisa menjamu tamu dengan baik. Bahkan pemuka kampung menyatakan permohonan maaf sebab merasa belum bisa menjamu tamu dengan layak. Padahal, mereka telah merelakan buah-buahan mereka dipanen raya oleh rombongan. Sungguh keramahan dan penghormatan yang tak terkira. Jadi, tersenyumlah saat berkunjung ke Desa Tae, maka mereka akan membalas dengan senyuman yang tak kalah manis. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com