Minggu, 10 Juli 2016

Membuka Pagar Magis saat Menerima Tamu

Hentakan musik mengiringi kegesit­an dua sesepuh kampung beradu jurus. Rentak kaki dan kecepatan tangan silih berganti mereka peragakan. Akan tetapi, tidak ada kontak fisik dalam jual beli pukulan itu. Bentangan bambu berbungkus kertas berwarna-warni di tengah arena membatasi gerak dua ‘jagoan kampung’ tersebut untuk saling serang. 

Atraksi pencak silat tangan kosong ini disuguhkan dalam tradisi penyambutan tamu di komunitas adat Dayak Limbai di Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Tradisi ini dikenal dengan potong ompong. Ompong ialah sebutan untuk sebilah bambu yang melintang di lokasi penyambutan tamu.

Tidak lama berselang, lima gadis berpakai­an adat tampil di arena penyambutan untuk giliran beratraksi. Dengan anggun dan menggemulai, mereka mempersembahkan tarian sebagai ucapan selamat datang. Beberapa perempuan separuh baya pun menghampiri tetamu saat tarian berlangsung. 


Mereka menyuguhkan arak dan tuak yang dibawa dengan nampan. Setelah menikmati tarian dan suguhan arak serta tuak, tetamu dipersilakan berdiri di depan ompong. Lelaku ritual pun dimulai. Tetua adat yang berhadapan dengan tetamu di seberang ompong kemudian merapalkan mantra. Ritual dilengkapi sesajian berupa gum­palan tanah, sebutir telur ayam, dan beras kuning sebagai simbolisasi Tanah Air dan keberkatan. Pemimpin rombongan tamu harus menginjak gumpalan tanah, dan memecahkan telur ayam dengan cara serupa sebagai bentuk penghormatan dan keabsahan acara.

Sembari terus melafalkan mantra, tetua adat mempersembahkan seekor ayam hitam untuk disembelih salah seorang atau pemimpin rombongan tamu. Darah hasil sembelihan kemudian dipercikkan ke beras kuning berwadah empat mangkuk plastik. Pemimpin rombongan juga diminta memotong seekor babi dengan menombak bagian leher hewan tersebut untuk melengkapi persembahan. “Kalau ada kunjungan tamu atau masalah adat, saya harus turun ke lapangan langsung padahal usia sudah lanjut,” kata Ariah, 76, wakil temenggung yang menjadi salah seorang pesilat pada potong ompong, beberapa waktu lalu.

Membuka pagar
Prosesi potong ompong dilanjutkan dengan pemasangan gelang oleh tetua adat kepada seluruh tamu. Gelang yang telah diritualkan ini dianyam dari akar pohon tengang dengan berhiaskan satu atau beberapa manik-manik. Gelang perlambang ikatan persahabatan itu dianggap bertuah sehingga pantang dilepas pemakai­nya. “Biarkan sampai terputus sendiri. Kalau dibuka (dilepas), bisa lemah semangat,” kata tokoh masyarakat Dayak Limbai, Bahen. 

Tuak kembali disuguhkan kepada pemimpin rombongan sebelum berlanjut ke acara puncak, yakni pemotongan ompong. Minuman tradisional tersebut kali ini disuguhkan dalam bekas paruh dan tanduk enggang. Pemimpin rombongan bisa meneguk sendiri atau berbagi dengan koleganya. Suguhan ini sebagai penghormatan warga kepada tetamu.

Pemotongan ompong harus dilakukan dalam sekali tebasan mandau. Warga bersama tetamu pun serempak memberikan aba-aba hingga hitungan ketujuh untuk menyemangati saat pemotong ompong mulai mengayun-ayunkan mandau. Begitu pula ketika ompong dapat ditebas, sorak-sorai juga bergemuruh sebagai luapan kegembiraan. Seorang warga kemudian mengalungkan rangkaian bunga ke pemimpin rombongan sebagai ucapan selamat. Rombongan pun selanjutnya menghampiri warga yang berbaris rapi di pingir lokasi acara. Mereka membalas ucapan selamat dengan bersalaman.

Tradisi potong ompong menandai bahwa rombongan telah sah dan diperkenankan memasuki wilayah komunitas adat di Desa Belaban Ella tersebut. Menurut Bahen, ompong menjadi semacam pagar untuk orang yang baru pertama kali masuk ke perkampungan mereka. “Sebelum masuk (ke perkampungan) harus memotong ompong dahulu sebagai syarat agar tidak kerasukan atau terhindar dari pengaruh-pengaruh kayak gitu,” jelas Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Belaban Ella ini.

Memelihara tradisi
Seusai potong ompong, pemuka adat dan sejumlah warga kemudian mengantar rombongan ke lokasi tujuan atau tempat beristirahat. Aneka penganan tradisional pun disuguhkan kepada tetamu. Ada kue lulun yang terbuat dari tepung beras dan kelapa. Ada juga rompo yang terbuat dari tepung ketan digoreng, hingga kembang goyang dan rengginang. “Ini semua kue kampung, dan harus dicoba (dicicipi). Kalau tidak, bisa kampunan (pamali),” kata seorang warga Orpa.

Potong ompong juga digelar warga saat pernikahan adat. Rombongan mempelai lelaki wajib menjalani ritual potong ompong sebelum memasuki lokasi acara. Selain bambu, ompong juga bisa terbuat dari kayu, tebu, batang pisang, atau seutas tali. Potong ompong hanya satu di antara beragam tradisi yang masih dipegang teguh oleh komunitas adat Dayak Limbai di perkampungan Sungkup. Di waktu yang sama mereka juga tengah bersiap menggelar mopat daun padi. Mopat daun padi ialah ritual untuk menyuburkan padi, yang dimulai sekitar pukul 02.00 WIB.

Seusai ritual yang berlangsung hingga menjelang matahari terbit itu, warga pun harus menghadiri monik anak. Monik anak atau pogowai mandi anak ialah tradisi memandikan balita berusia tujuh bulan hingga setahun di sungai. Saat itu ada dua balita yang bakal menjalani selamatan tersebut. Tradisi dan ritual juga diterapkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hasil hutan, misalnya, hanya boleh diambil secukupnya untuk kebutuhan keluarga. Itu pun tidak boleh sampai merusak lingkungan. 

Sementara itu, lokasi perladangan ditetapkan berdasarkan petunjuk spritual, mencermati perilaku satwa, fenomena alam, dan letak lahan. Semua ketentuan itu diatur dalam hukum adat yang diberlakukan secara ketat, dan ada sanksi bagi pelanggar. Hutan di perkampungan Sungkup pun tetap menghijau karena warga menjaganya dengan menerapkan kearifan lokal. (M-2)

Penulis: Aries Munandar
www.mediaindonesia.com